Jumat, 02 Desember 2011

DIMENSI KEPEMIMPINAN DALAM KOPERASI PENATAKELOLA SUMBERDAYA AGRARIA (Pengalaman Koperasi Perjuangan Wangunwatie Karangnunggal Tasikmalaya)

Oleh:
Deden Dani Saleh*

Abstract
The mechanism of delivery system in the concept of agrarian reform one of them is control over land rights by a legal entity in the form of cooperatives. For local scope, the initiative forming cooperative business entity that comes from below will have an effective contribution. Kinship system that became the basis of the cooperative system will very easily be adopted by rural communities which are basically family. To launch the cooperatives applying so, amid intensified capitalist climate, leadership in cooperative management is needed.Simak
Baca secara fonetik

Through qualitative research methods with a naturalistic approach, various interesting facts from the leadership in the management of cooperatives at the Cooperative Plantation Sub Karangnunggal Wangunwatie Tasikmalaya District, opened and parsed. Thus very suitable method to determine the words and actions of everyday people, especially Wangunwatie Village community that relate directly to Cooperative Plantation Wangunwatie
In an increasingly rampant capitalist climate currently a cooperative enterprise requires a strong leader. Strong leader in the point of view of agrarian reform is a leader who has vision and can embody article agrarian land for at-large for the prosperity of the people and not be diverted for the benefit of a second. This condition is one fact that the study found. Obstacles faced related to the Cooperative leadership cadre Wangunwatie is not running so that the next strong leader who did not get born again.
Keywords: Cooperation, Leadership


A.    PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Indonesia adalah negara agraris. Itu sudah menjadi pengetahuan kita sejak lama. Akan tetapi, saat ini, sepertinya hal itu hanyalah jargon yang sudah tidak cukup memberikan motivasi kepada kita untuk menjadikan negara ini menjadi negara agraris. Hingga saat ini belum ada istilah baru untuk menggantikan itu. Indonesia belum berubah menjadi negara industri. Bahkan jargon yang sekarang semakin mencuat adalah istilah ‘Indonesia negeri ironi’[1]. Istilah ini ada karena kita berusaha menyangkal atau berusaha kuat merubah istilah negara agraris yang pada dasarnya menjadi fondasi bangsa ini menjadi istilah lain yang sesungguhnya belum mungkin dirubah.
Persoalan seperti apa yang terjadi pada negara agraris ini? Sepertinya kita sudah melihat begitu banyak data dan fakta yang membawa kita kepada pengetahuan bahwa petani kita yang seyogyanya menjadi raja karena negara kita negara agraris ternyata menjadi ‘kacung’ yang begitu terpinggirkan, terbelakang, dan sangat miskin. Mengapa bisa demikian?[2] Karena dinamika perkembangan yang dialami bangsa ini ternyata telah melahirkan struktur yang membawa mereka kepada jurang ketidakberdayaan. Bagaimana kita harus mengatasi ini? Reforma agraria adalah jawaban yang tepat karena melalui konsep ini perombakan struktur yang meminggirkan, menerbelakangkan, dan memiskinkan diharapkan terjadi.
Konsep reforma agraria sebagaimana dikatakan Joyo Winoto (Kepala Badan Pertanahan Nasional) adalah konsep yang bukan hanya menawarkan penyediaan tanah, melainkan juga membuka akses petani (terutama petani miskin) pada sumber-sumber ekonomi. Setelah memiliki aset yang memadai, kemudian akses petani terhadap rangkaian tata produksi mulai dibangun serta diperkuat. Kedua hal ini betul-betul harus terjadi dan berjalan secara harmonis. Tujuan tidak akan tercapai apabila salah satu sisi tersebut tidak bisa dipenuhi. Bahkan, bukan hanya satu sisi, satu komponen saja dalam sisi akses, akan memincangkan jalannya reforma agraria.
Kemudian, efek selanjutnya yang diharapkan setelah dua hal ini bertaut sangat kuat adalah terjadinya pembebasan. Pembebasan dari kebodohan, ketertinggalan, ketertindasan, sempitnya ruang gerak kehidupan, ketergantungan, dan rasa takut. Mengapa? Karena, kebijakan ini difokuskan pada empat prinsip: (1) pertanahan harus berkontribusi secara nyata pada peningkatan kesejahteraan rakyat dan pelahiran sumber-sumber kemakmuran rakyat yang baru, (2) pertanahan harus berkontribusi secara nyata pada peningkatan tatanan kehidupan bersama yang lebih berkeadilan dalam kaitannya dengan pemanfaatan, penggunaan, penguasaan, dan pemilikan tanah, (3) pertanahan harus berkontribusi secara pada keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan Indonesia, dan (4) pertanahan harus berkontribusi secara nyata pada penciptaan tatanan kehidupan bersama secara harmonis dengan mengatasi berbagai sengketa dan konflik. 
Dalam kaitan itu semua, terdapat satu pelajaran yang menarik yang dapat kita angkat sebagai suatu contoh bagus tentang salah satu praksis reforma agraria yang hadir didekat kita. Contoh bagus ini kami dapatkan dari suatu desa di sebelah selatan Tasikmalaya. Desa ini namanya Sukawangun. Di desa ini terdapat sebuah badan usaha koperasi yang bernama Koperasi Perjuangan Wangunwatie. Koperasi Wangunwatie sidah berdiri sejak lama dan ia bisa bertahan hingga sekarang. Ditengah iklim kapitalis yang semakin merebak, tidak mudah bagi sebuah badan usaha yang berbentuk koperasi yang berada di pedesaan dan yang dipimpin oleh warga asli untuk tetap survive. Untuk tetap memiliki eksistensi, suatu badan usaha koperasi, memerlukan pimpinan yang dapat menjabarkan sistem dasar koperasi. Berbagai fakta serta dinamika yang terjadi berkaitan dengan kepemimpinan dalam kepengurusan koperasi akan dipaparkan dalam tulisan selanjutnya.

2.      Tinjauan Pustaka
a.       Reforma Agraria
Menurut Joyo Winoto, benang merah reforma agraria harus dimaknai sebagai penataan atau penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah (P4T)  surnber-sumber agraria menuju suatu struktur P4T yang berkeadilan yang langsung mengatasi akar persoalan. Kemudian, bila dikembangkan, P4T tersebut harus bisa: (a) restrukturisasi penguasaan aset tanah yang berkeadilan (equity); (b) meningkatkan kesejahteraan berbasis keagrariaan (welfare); (c) memanfaatkan tanah dan faktor produksinya secara optimal (efficiency); (d) membuat suatu keberlanjutan (sustainability); dan (e) dapat menyelesaikan sengketa tanah (harmony)[3]. Selama ini, akar persoalan dibidang pemanfaatan sumber-sumber agrarian atau bahkan sumber-sumber ekonomi yang lain adalah keadilan. Inilah yang menurut penulis nilai moral tertinggi yang dimiliki oleh reforma agrarian. Bila keadilan sebagai nilai moralitas tertinggi ini dapat dicapai melalui berbagai pelaksanaan yang efisien dipastikan bahwa masyarakat ini akan berjalan berkelanjutan secara harmonis.
Sementara itu, bentuk delivery system reforma agraria sebagaimana pula dikemukakan Joyo Winoto adalah: (1) mendekatkan objek ke tempat subjek. Melalui cara ini, tanah dari daerah yang surplus tanah atau tidak padat penduduknya didekatkan ke daerah yang minus tanah, padat penduduknya, dan dekat dengan penerima manfaat; (2) mendekatkan subjek ke tempat letak objek. Dalam model ini calon penerima manfaat (subjek) berpindah secara sukarela ke lokasi tanah yang tersedia;. (3) subjek dan objek di satu lokasi yang sama. Model ini berlaku pada keadaan ketika subjek dan objek bcrada di lokasi yang sama. Dalam tataran praktis, masyarakat yang menjadi kelompok prioritas seperti penduduk di suatu wilayah atau petani gurem akan mendapat injeksi tanah ncgara. Setelah itu, dibuka akses terhadap berbagai hal yang memungkinkan mereka meningkatkan kesejahteraannya, seperti teknologi, modal, pasar, serta keterampilan.[4] Dalam konsep ini, terlihat cara pengaturan cara subyek kebijakan ini menguasasi obyek. Pemerintah mencoba melakukan stimulir pada persoalan penguasaan tanah yang selama ini dirasa tidak ter-delivery secara rapi. Setelah itu, pengusahaan atas tanah-tanah yang telah dikuasasi subyek tersebut distimulasi kembali dengan teknologi, modal, serta psar yang berpihak pada subyek. Konsep ini tentunya memerlukan dedikasi serta keterlibatan banyak stakeholder dan persoalan akan terjadi manakala stakeholder diharuskan berkoordinasi.
Selanjutnya, penguasaan serta pengusahaan pada dasarnya dapat diselenggarakan melalui tiga alternatif, yaitu: penguasaan hak atas tanah secara perseorangan, penguasaan hak atas tanah secara bersama, dan penguasaan hak atas tanah badan usaha atau koperasi. Penguasaan hak aats tanah badan usaha atau koperasi dapat dilakukan dengan mengusahakan sendiri, melalui kontrak profit sharing, dan kontrak manajemen. Ketiga cara ini tentunya memiliki kekhasan masing-masing.

b.      Kepemimpinan
Kepemimpinan (leadership) adalah istilah umum yang dapat didefinisikan sebagai kualitas yang membuat seseorang dapat memerintah orang lain. Ini mengimplikasikan bahwa kepemimpian pada dasarnya adalah hubungan mutual antara pemimpin dengan yang dipimpin atau individu dan kelompok. Istilah ini juga menunjukkan tindakan: pemimpin dan kelompok melakukan sesuatu secara bersama-sama. Terakhir, kepemimpinan jelas merupakan relasi berbasis persetujuan bukan paksaan.[5] Jadi, jelaslah, bahwa kepemimpinan tersebut menyangkut orang, hubungan antar orang serta sebuah lembaga yang dijadikan tempat bagi berlangsungnya interaksi.
Untuk mengelaborasi kepemimpinan terdapat dua pendekatan dan dua pendekatan ini bertentangan. Studi kepemimpinan klasik terutama difokuskan pada personalitas tokoh besar, menggambarkan mereka sebagai tokoh unik dan heroik yang mampu mengubah pengikut mereka cukup dengan kekuatan kehendak mereka. Sementara itu, pendekatan lain, berfokus pada kebutuhan, struktur kelompok, konteks, dan dinamika antara pemimpin dengan pengikutnya. Menurut pandangan ini, pemimpin adalah fungsi interaksi kepribadian dengan situasi sosial. Beberapa studi menunjukkan bahwa pemimpin bukan orang yang penuh keluarbiasaan, tetapi lebih sering merupakan golongan orang biasa yang mampu melakukan inovasi.[6] Dari dua pendekatan ini, penulis mengambil kesimpulan bahwa pemimpin tersebut adalah orang yang memiliki ide-ide cemerlang. Orang ini bisa saja dilahirkan atau dibentuk oleh suatu komunitas.
Gaya kepemimpinan yang mudah dikenali adalah gaya otoriter dan gaya demokratis[7]. Gaya otoriter adalah gaya kepemimpinan dengan cara menumbuhkan kepatuha luar bisa dari para pengikutnya. Kharisma yang dimiliki seseorang dimanfaatkan untuk dapat memerintah dan mencapai tujuan. Pengikut dalam kondisi ini seringkali bukan saja takut untuk mengemukakan pendapat akan tetapi dihinggapi rasa takut. Sementara itu, dilain sisi, gaya demokratis adalah gaya kepemimpinan yang lebih membumi saat ini. Paling tidak gaya seperti ini yang selalu diharapkan masyarakat modern. Kepemimpinan semacam ini diinginkan sebab rasa kemanusiaan para pengikutnya dapat diakomadasi. Nilai-nilai para anggota tidak terlukai. Akan tetapi gaya ini juga bermasalah ketika keputusan harus segera diambil. Seringkali keputusan tidak pernah dapat diambil sebab suara individu dipastikan akan berbeda. Perpaduan dua gaya ini mungkin akan sangat mujarab. Permasalahannya adalah kadar perpaduannya yang seringkali tidak mudah dilakukan
Robert Bales berpendapat bahwa beberapa kelompok menghasilkan pemimpin penting yang kemampuannya untuk memerintah didasarkan pada kualifikasi kemampuan dan keahlian, ada kelompok yang lebih ekspresif, membangkitkan partisipasi emosional komunitas. “Tugas” pemimpin disini adalah menjaga kelompok agar tetap menjadi sebuah kelompok. Mereka yang berkuasa tidak selalu dianggap pemimpin, beberapa diantara mereka adalah “kepala” yang kekuasaannya didasarkan pada posisinya dalam struktur hierakhi.[8]
Para pengikut juga dibedakan berdasarkan beberapa alasan: ada pengikut yang mematuhi pemimpin karena ingin mendapat keuntungan, yang lainnya karena percaya pada kemampuan pemimpin, dan ada yang suka pada pemimpin.[9] Tiga kelompok ini bisa jadi ada dalam satu komunitas yang dipimpin oleh seseorang. Perpaduan ketiganya menghasilkan corak sebuah organisasi. Dinamika yang terjadi dalam sebuah organisasi inilah yang dipengaruhi oleh karakter individu yang dipimpin. Ketiga karakter ini bukan sebagai sebuah kebaikan atau keburukan sebab pada diri masing-masing individu, kepentingan yang ingin diakomodasi adalah berbeda.

3.      Metode Penelitian
Conny R. Semiawan dalam sambutan buku metodologi penelitian karya Lexy J. Moleong mengatakan bahwa penelitian kualitatif berangkat dari paradigma fenomenologis yang obyektivitasnya dibangun di atas rumusan situasi yang dihayati individu atau kelompok sosial tertentu yang bertujuan memahami situasi tertentu.[10] Penelitian ini juga berangkat dari paradigma seperti demikian. Ia ingin memahami situasi yang dihayati oleh individu atau kelompok. Melalui penelitian ini, peneliti berharap dapat menggambarkan kejadian atau fenomena yang dialami oleh individu atau kelompok.
Pencarian kebenaran yang akan dijadikan pengetahuan manusia dilakukan melalui bermacam-macam model atau paradigma. Paradigma yang dominan digunakan pada masyarakat ilmiah adalah paradigma ilmiah dan paradigma alamiah (naturalistik).[11] Paradigma naturalistik atau yang lebih dikenal dengan pendekatan kualitatif yang dalam operasionalisasinya menekankan pada operasi pencarian pengetahuan yang berbentuk penggalian pengetahuan baru dari kompleksitas tatanan komunitas ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Pendekatan naturalistik atau kualitatif diambil karena penelitian bertujuan untuk memahami berbagai kondisi yang terjadi pada individu sebagai unit analisis termasuk didalamnya berbagai pemikiran yang diyakini unit analisis penelitian berkenaan dengan pemilikan tanahnya. Pemahaman akan berbagai kondisi riil hingga kerangka berpikir dan bertindak orang-orang atau masyarakat yang terjadi sebagai bentuk kompleksitas tatanan masyarakat yang sudah ada dicoba digali melalui pendekatan seperti ini. Keberadaan sebuah fenomena atau gejala di masyarakat yang tidak terhitung jumlah dan kompleksitasnya tidak memungkinkan hanya dilihat secara positivistik. Upaya melihat secara komprehensif suatu fenomena atau gejala tersebut dapat diakomodasi melalui penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif atau naturalistik seperti ini.
Apa yang dicari untuk bisa menggambarkan fenomena obyektif? Kata-kata dan tindakan.[12] Kata-kata dan tindakan orang-orang yang diamati atau diwawancarai merupakan sumber data utama. Sumber data utama dicatat melalui catatan tertulis atau melalui perekaman. Pencatatan sumber data utama melalui wawancara atau pengamatan berperanserta merupakan hasil usaha gabungan dari kegiatan melihat, mendengar, dan bertanya yang paling efisien dalam teknik penelitian ini. Kegiatan melihat, mendengar, atau bertanya merupakan kegiatan yang dilakukan tidak sekaligus. Masing-masing kegiatan diadakan untuk menutupi kelemahan teknik pencarian data tersebut manakala kondisi subyek penelitian tidak dimungkinkan untuk dikenai salah satu perlakuan.
Kemudian, teknik pengambilan data dilakukan melalui pengamatan berperanserta yang dalam hal ini merupakan ciri khas teknik pengambilan data dalam penelitian kualitatif. Dalam penelitian ini, peneliti sendiri dan dengan bantuan orang lain merupakan alat pengumpul data yang utama. Kegiatan bertanya dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik wawancara mendalam. Wawancara biasanya dilakukan antara dua orang yakni pewawancara dengan yang diwawancara. Maksud wawancara, sebagaimana Lincoln dan Guba (1985:266)[13] adalah untuk mengkonstruksi orang, kejadian, kegiatan, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian dan lain-lain kebulatan; merekonstruksi kebulatan-kebulatan sebagai yang telah dialami pada masa lalu; memproyeksikan kebulatan-kebulatan yang diharapkan untuk dialami pada masa yang akan datang; memverifikasi, mengubah, dan memperluas informasi yang diperoleh orang lain.

B.     KOPERASI SEBAGAI AGEN TATA KELOLA SUMBER DAYA AGRARIA
1.      Sejarah Singkat Koperasi Wangunwatie
Perkebunan karet dan teh milik sebuah perusahaan Jerman yang diusahakan mulai tahun 1908 terletak di daerah yang masuk Kecamatan Karangnunggal dan Cibalong Tasikmalaya Selatan Jawa Barat dengan nama “STRAAT SUNDA SYNDICAAT NV CULTUUR MIJ WANGUNWATIE” adalah cikal bakal terbentuk dan usahanya sebuah koperasi yang eksis sampai sekarang. Dulu, perkebunan ini milik seorang pengusaha berkebangsaan Jerman. Pada masa itu, orang-orang Eropa tengah giat-giatnya mengembangkan usaha pada wilayah-wilayah koloni hasil penaklukan-penaklukan dan daerah subur seperti Jawa Barat bagian Selatan. Daerah ini merupakan tujuan utama para pengusaha Eropa tersebut.
Sejalan dengan terjadinya pergolakan dunia, pada tahun 1940 ketika Belanda diserang Jerman dan terjadinya Perang Dunia II dan Indonesia pun dijajah Jepang antara tahun 1942-1945, Perkebunan Wangunwatie dikelola oleh pengelola yang berganti-ganti. Dari tangan pengusaha Jerman berpindah pengelolaan kepada Pemerintahan Belanda dan selanjutnya berpindah tangan kepada pemerintah pendudukan Jepang. Pada waktu pemerintahan pendudukan Jepang seluruh kebun teh dihancurkan. Pada masa kemerdekaan Indonesia, pada aksi Belanda I (1947) para pejuang RI membumihanguskan Perkebunan Wangunwatie sehingga yang tertinggal adalah sebagian kecil kebun karet saja (maksudnya agar tidak dikuasai oleh Pemerintah Belanda). Jadi wilayah perkebunan ini telah mengalami dua kali pembumihangusan.
Pada tanggal 2 Agustus 1950, atas anjuran Pemerintah Republik Indonesia, sisa-sisa Perkebunan Wangunwatie kembali dikelola/diusahakan oleh para mantan buruh yang masih ada di lokasi perkebunan dengan cara bergotongroyong yang dipimpin oleh Bapak A. Wasyidi, dkk. Untuk memperkuat kedudukan perusahaan perkebunan Wangunwatie dibentuklah suatu organisasi/badan kerjasama para buruh dengan nama DPKW (Dewan Penyelenggara Kebun Wangunwatie). Selanjutnya, berdasarkan hasil musyawarah para anggota DPKW tanggal 2 Mei 1952 secara resmi berdirilah sebuah koperasi dengan nama Koperasi Buruh Perkebunan Wangunwatie (KBPW) dengan bidang usaha perkebunan karet dan teh di atas areal kurang lebih 280,20 hektar. Pada waktu itu KBP Wangunwatie bermodalkan tanaman karet yang tersisa dilokasi seluas 100 hektar (sisa dari pem-bumihangusan pada masa aksi Belanda I). Pada tanggal 6 April 1959, KBP mendapat Badan Hukum dengan Nomor 2108.
Sejak berdiri sampai sekarang para pengurus dan anggotanya terus berjuang mengusahakan perkebunan karet dengan modal seadanya (modal sendiri dari simpanan anggota dan kadang-kadang dari relasi yang menampung hasil produksi karet). Walaupun sering berupaya mengusahakan permodalan dari pihak bank, namun hingga kini tidak ada bank yang bersedia membantu. Begitu pula dalam perjuangan mendapatkan HGU (Hak Guna Usaha) dari pemerintah untuk lahan yang diusahakan oleh koperasi, sedangkan untuk lahan bekas perkebunan yang telah digarap rakyat telah menjadi pemukiman, sawah, kolam, dan lading. Pengurus koperasi pun mengusahakan agar semua lahan yang sudah digarap tersebut menjadi hak milik para penggarap itu sendiri. Buah dari perjuangan yang berat dan panjang serta berkesinambungan tidak mengenal lelah didapatlah hasil: (1) pada tanggal 20 Juli 1989, mendapat HGU dengan nomor 37/HGU/BPN/89 yang akan berakhir 31 Desember 2014 dan (2) bulan Maret 2002 sampai dengan maret 2003 atas dukungan Camat Karangnunggal (Heri B Ruslan SH) dilaksanakan pensertifikatan tanah bekas perkebunan Wangunwatie yang tidak termasuk HGU oleh Kantor BPN Tasikmalaya untuk menjadi tanah mililk rakyat yang telah menggarap sejak tahun 1942.
Itulah sekelumit perjalanan Koperasi Wangunwatie yang hingga kini sudah berusia 58 tahun.  Sementara itu, kepengurusan sekarang adalah kepengurusan yang sudah berusia 25 tahun. Kepengurusan sekarang adalah hasil pemilihan lima kali rapat anggota. Suatu usia yang cukup matang. Lamanya kepengurusan koperasi yang sekarang tidak memperlihatkan suatu dominasi akan tetapi sesuai dengan watak koperasi, justru penguasa sebenarnya adalah anggota dan sekarang yang duduk sebagai pengelola koperasi adalah orang-orang yang diserahi tanggung jawab menjalankan roda perusahaan.

2.      Mengapa Koperasi?
Menurut Pasal 33 UUD 1945, ditetapkan bahwa bangun usaha yang sesuai dengan tata ekonomi Indonesia adalah bangun usaha yang berlandaskan jiwa, semangat kebersamaan, dan kekeluargaan. Dengan demikian, jelas, bahwa seluruh bentuk bangun usaha yang seharusnya ada di Indonesia harus diorientasikan kepada jiwa serta semangat tersebut. Akan tetapi, dalam kenyataannya, perkembangan bangun usaha di Indonesia menjadi sedikit melenceng. Keadaan melenceng ini adalah suatu fakta yang memang harus dihadapi bangsa ini. Kita tidak bisa membendung semangat kapitalisme yang melanda dunia. Dalam kaitan itu, hingga saat ini, paling tidak kita mengenal tiga bentuk bangun usaha yang sekarang ada di Indonesia. Kita mengenal BUMN/BUMD. Sejatinya, bangun usaha ini menyisir wilayah-wilayah usaha yang menguasai hajat hidup orang banyak tetapi tidak diminati masyarakat swasta karena tidak menguntungkan atau dapat mengancam harmonisasi masyarakat. Kita juga mengenal bangun usaha koperasi yang sejak awal didengungkan, ia sudah dibentuk sedemikian rupa agar memberikan keuntungan kepada masyarakat banyak. Pada titik ini, dalam dua bentuk bangun usaha ini kita bisa menjumpai semangat-semangat Pasal 33 UUD 1945. Selanjutnya, kita juga mengenal bangun usaha yang dikelola swasta baik perorangan maupun badan korporasi yang sudah tentu bangun usaha ini menyisir wilayah-wilayah yang dapat menguntungkan bagi para pengusaha[14].
Untuk selanjutnya, tulisan ini, tidak hendak mengelaborasi bangunan usaha BUMN/BUMD serta bangunan usaha swasta. Tulisan ini hanya hendak mengeksplorasi bangunan usaha yang berbentuk koperasi.
Sebagaimana dikatakan Bung Hatta, sistem ekonomi koperasi merupakan sistem yang cocok bagi pelaku-pelaku ekonomi masyarakat Indonesia yang sebagian besar terdiri dari massa petani dengan tradisi kerja yang bersifat kolektivisme[15]. Mengapa koperasi?karena, pembangunan ekonomi bukanlah sekedar bertujuan untuk memakmurkan rakyat tetapi merupakan pembangunan harkat rakyat secara keseluruhan. Konsep yang harus dibangun tidak hanya konsep liberty, equity, dan fraternity-nya tetapi konsep kemanusiaan keadilan sosial sehingga sistem yang dibangun tidak hanya demokrasi politik akan tetapi juga demokrasi ekonomi. Oleh karena itu, koperasi sebagai salah satu bangunan usaha ekonomi masyarakat diharapkan mampu menjadi wadah ekonomi utama. Dengan begitu, seluruh konsep di atas dapat diimplementasikan.
Satu contoh koperasi yang layak diangkat berkaitan dengan konsep-konsep di atas adalah Koperasi Perjuangan Wangunwatie. Koperasi yang dibangun dari puing-puing Perkebunan Wangunwatie yang dikelola/diusahakan oleh para mantan buruh perkebunan yang masih ada di lokasi perkebunan telah berdiri sejak tanggal 2 Mei 1952 berdasarkan hasil  musyawarah para anggota Dewan Pengurus Kebun Wangunwatie (DPKW). Koperasi ini telah berkembang sedemikian rupa hingga menjadi koperasi mandiri seperti sekarang. Inilah model koperasi yang dibangun di atas inisiasi warga masyarakat lokal.
Pembangunan koperasi yang mandiri dapat terwujud sesuai jatidiri/prinsip koperasi jika memenuhi tujuh kriteria sebagaimana diatur dalam Kepmen KOP dan UKM No 129/KEP/M.KUKM/XI/2002 tentang Pedoman Klasifikasi Koperasi yakni, keanggotaan sukarela dan terbuka, pengendalian oleh anggota secara demokratis, partisipasi ekonomi anggota, otonomi dan kemandirian, pendidikan dan pelatihan, kerjasama dengan koperasi yang lain, serta kepedulian terhadap komunitas.  Kriteria ini berbasis anggota bukan berbasis kapital (modal). Artinya, semua kegiatan koperasi dan hasilnya ditujukan kepada anggota dan selalu melibatkan anggota. Jadi, anggota merupakan center of orientation. Basis ini membuat koperasi dapat membangun dan meningkatkan kemandirian dengan meningkatkan peranan anggota dalam berpartisipasi mengikuti perkembangan kebutuhan anggota untuk menumbuhkan kepedulian anggota dalam berpartisipasi, serta bekerjasama dengan badan usaha non koperasi tanpa menimbulkan ketergantungan, menggunakan fasilitas keuangan yang disediakan pemerintah/perbankan sesuai dengan kemampuan manajemen dan sumber daya yang dimiliki. 
Keanggotaan Koperasi Wangunwatie terjadi secara sukarela. Inisiatif pendirian ini lahir dari sekumpulan warga (bekas pekerja perkebunan yang ditinggalkan majikannya) pada tahun 1948. Kesukarelaan serta keterbukaan anggota ini dimulai ketika para pekerja kebun, setelah selesai berbagi sebagian wilayah kebun untuk digarap, mereka berinisiatif mengelola sisa wilayah kebun yang tidak mungkin dikelola secara perorangan untuk dikelola secara bersama-sama dengan membentuk suatu wadah.
Wadah yang ingin mereka bentuk adalah wadah yang memungkinkan tidak saja setiap orang yang tergabung dalam DPKW tetapi juga setiap orang yang berada di sekeliling kebun. Mereka mengistilahkannya sebagai kemaslahatan bagi masyarakat sebanyak-banyaknya. Jelas ini merupakan prinsip dasar koperasi yang sudah demikian menyelimuti inisiatif pembentukan wadah. Kemudian, setelah pengetahuan semakin bertambah, ide pembentukan koperasi perkebunan dibentuk. Dengan dipimpin elit desa pada waktu itu, proses-proses demokrasi dalam pembentukan maupun pengelolaan koperasi dilakukan. Mereka menunjuk salah seorang dari mereka yang dianggap mumpuni untuk dijadikan pimpinan pengelolaan wadah tersebut
Permodalan yang menjadi persyaratan berikutnya dapat dengan sangat mudah dimiliki. Meskipun saat-saat pertama, permodalan yang diperoleh adalah tanah serta tenaga saja, hal itu sudah merupakan permodalan yang dianggap cukup untuk menjalankan roda koperasi. Pengendalian oleh anggota secara demokratis, partisipasi ekonomi anggota, otonomi dan kemandirian ditunjukkan dengan sangat jelas dalam proses ini. Dengan arahan dari pihak koperasi, setiap orang, menyertakan tanah milik mereka untuk kemudian menanaminya dengan pohon karet dan menyerahkan pengolahan hasil serta penjualan kepada pihak koperasi dengan model bagi hasil 70% bagi pemilik tanah dan 30% bagi koperasi.
Selanjutnya, konsep yang tidak kalah penting dalam melihat kemandirian suatu koperasi adalah kepedulian terhadap komunitas. Sejak awal, ketika mereka tidak membagi habis seluruh wilayah perkebunan untuk mereka sendiri, pengaturan semacam demikian adalah bentuk kepedulian terhadap komunitas sekitar mereka. Mereka sudah berkomitmen bahwa suatu saat, daerah sekitar koperasi akan berkembang dengan segala dinamikanya. Mereka (Bekas pekerja kebun) tidak ingin menjadi suatu kelompok yang eksklusif di wilayah Desa Sukawangun. Mereka berkeinginan bahwa bangunan usaha koperasi yang sudah mereka dirikan tersebut akan memiliki manfaat lebih besar lagi bukan saja bagi mereka akan tetapi bagi warga sekitar. Mereka sudah memikirkan, pada masa yang akan datang, jumlah individu yang harus menerima manfaat akan terus bertambah dan tidak mungkin dipenuhi dengan cara membagi-bagikan tanah kembali. Pembentukan koperasi ini, dengan basis mengelola perkebunan adalah suatu hal yang paling mungkin dilakukan serta memiliki efek yang besar dan dalam jangka panjang bagi warga sekitar.
 Peristiwa ini, dalam anggapan penulis, adalah peristiwa yang berbasiskan agraria. Basis pemikiran yang merupakan pada basis pemikiran sesungguh dalam menjalankan suatu tata produksi. Kemandirian Koperasi Wangunwatie saat ini dapat dilihat sebagai kemandirian yang lahir akibat basis konsepsi agraria yang sangat kental. Secara fisik, mereka membentuk wadah koperasi dengan bermodalkan tanah yang mereka miliki. Selanjutnya, visi keagrariaan yang mengharuskan (1) pertanahan harus berkontribusi secara nyata untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan melahirkan sumber-sumber baru kemakmuran rakyat, (2) pertanahan harus berkontribusi secara nyata untuk meningkatkan tatanan kehidupan bersama yang lebih berkeadilan dalam kaitannya dengan pemanfaatan, penggunaan, penguasaan, dan pemilikan tanah, (3) pertanahan harus berkontribusi secara nyata dalam menjamin keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan Indonesia, dan (4) pertanahan harus berkontribusi secara nyata dalam menciptakan tatanan kehidupan bersama secara harmonis dengan mengatasi berbagai sengketa dan konflik dapat diimplementasikan dengan sangat baik.
Koperasi Wangunwatie saat ini telah memberi kontribusi yang sangat banyak terhadap kesejahteraan masyarakat. Tata kelola pertanahan yang mereka junjung begitu berbeda dengan tata kelola pertanahan yang dilakukan para pengelola HGU pada umumnya. Pola bagi hasil 70% bagi pemilik tanah serta 30% bagi koperasi, desa, serta bentuk kontribusi-kontribusi langsung lainnya adalah inisiatif meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang tidak mudah dilakukan oleh perusahaan-perusahaan pemegang HGU. Sumber-sumber baru peningkatan kesejahteraan juga diinisiasi oleh koperasi. Salah satu bentuknya adalah arisan ternak.
Kontribusi tata kelola serta tata produksi yang berjalan di Desa Sukawangun ini telah menjamin keberlanjutan sistem kemasyarakatan selama kurang lebih 30 tahun. Visi agraria yang terbangun juga memungkinkan terjadinya pengelolaan lingkungan secara baik. Cara bertanam, jenis-jenis tanaman tertentu yang dipelihara pada daerah-daerah tertentu; pengelolaan sumber daya air yang dilakukan memungkikan terselenggaranya keberlanjutan-keberlanjutan tersebut.
Kemudian, kontribusi secara nyata dalam menciptakan tatanan kehidupan bersama secara harmonis dengan mengatasi berbagai sengketa dan konflik juga dapat diimplementasikan dengan sangat baik. Penyerobotan-penyerobotan tanah pada wilayah HGU Koperasi Wangunwatie tidak terjadi bahkan yang terjadi, penduduk sekitar kebun yang tidak termasuk anggota koperasi memberikan pengamanan terhadap tanaman-tanaman perkebunan karena tanah yang diusahakan koperasi pada dasarnya adalah tanah warga desa. Gangguan keamanan di sekitar kebun, dapat dikatakan tidak pernah terjadi. Menurut berbagai pengakuan, selama kurun waktu lebih dari 25 tahun ini, hanya satu kali terjadi pencurian di wilayah kebun. Pola pencegahan konflik juga menjadi titik perhatian pengelola kebun. Kampanye pentingnya batas serta sertifikat tanah tidak lepas dari peran besar para pengelola kebun.
Visi keagrarian demikian tidak lepas dari proses panjang Koperasi Wangunwatie. Persentuhan dengan para penggiat agraria menjadikan visi keagrariaan telah terbangun sejak lama. Selain itu, dinamika masyarakat yang berkembang ke arah komersialisasi masif disekitar wilayah koperasi dapat ditangkis oleh visi pimpinan atau para pengelola koperasi. Unsur-unsur pimpinan memiliki satu suara untuk tetap menjalankan roda koperasi pada wataknya. Pengembangan yang dilakukan tidak hanya dilihat sebagai suatu keharusan akan tetapi kemaslahatan bagi sebanyak-banyaknya warga desa tetap menjadi prioritas utama. Hal ini ditunjukkan ketika para pengelola menghentikan proyek penggalian nikel dengan pertimbangan bahwa proyek tersebut akan membawa usaha koperasi ke arah non pertanian dan akan menimbulkan kerusakan lingkungan.

C.     DIMENSI KEPEMIMPINAN DALAM PENGELOLAAN KOPERASI
Sebuah konsensus nasional untuk setia mengupayakan cita-cita kebangsaan dibidang agraria niscaya memerlukan kepemimpinan yang kuat dan visioner.[16] Dalam perjalanannya, cita-cita kebangsaan dibidang agraria pasti akan selalu mendapat rongrongan. Banyaknya kepentingan yang bergulir dibidang agraria sangat memungkinkan untuk melahirkan perubahan dan berbagai pembelokan cita-cita awal. Bahkan, tidak saja dari luar, akan tetapi dari dalam diri pimpinan. Pimpinan yang terbawa arus kepentingan pribadi yang sifatnya sesaat dapat pula membentuk pembelokan cita-cita.
Apakah dalam lingkup lokal, kepemimpinan seperti demikian diperlukan? Jika diperlukan, kepemimpinan seperti apa yang dibutuhkan tersebut? Apakah ada sisi negatif dari suatu bentuk kepemimpinan yang dijalani? Berikut beberapa dimensi yang terlihat setelah melakukan penelitian di Koperasi Wangunwatie Kecamatan Karangnunggal Kabupaten Tasikmalaya.

1.      Visi Agraria
Endang AS adalah pimpinan Koperasi Wangunwatie. Ia terpilih sejak lima periode kepengurusan koperasi. Jadi, bila dihitung waktu, ia sudah memimpin koperasi sejak tahun 1975 hingga tahun 2010 (25 tahun). Setiap periode kepengurusan, ia selalu mendapat suara aklamasi dari rapat anggota tahunan.  Tiga tahun belakangan ini ia selalu mendapat penghargaan sebagai penggerak koperasi oleh instansi setempat. Kemajuan yang sudah diberikan selam masa kepengurusan Pak Endang ini adalah perluasan pasar hingga luar negeri. Satu waktu ia pernah belajar pemasaran ke Singapura berkat kemajuan produksi karet yang dikelola koperasi ini.
Saat pertama kali berkenalan, kemudian menyatakan maksud kedatangan penulis dan berbicara tentang pertanahan, kata yang paling sering disebut oleh beliau adalah pasal 33 ayat 3. Beliau sering mengatakan bahwa tanah harus digunakan untuk kemaslahatan seluruh orang karena pasal 33 itu. Pasal 33 itu harus dilaksanakan sebaik-baiknya karena dengan begitu, kesejahteraan masyarakat dapat terjamin.
Inilah yang menurut penglihatan penulis merupakan visi agraria. Visi yang dimulai dari penghayatan pasal 33 yang kemudian mempraktekannya dalam kehidupan nyata. Ia begitu menghayati pasal 33 tersebut sehingga ia begitu setuju ketika dulu orang tuanya mendirikan koperasi ini. Padahal saat itu, ia tidak pernah tahu atau mencari tahu arti pentingnya koperasi. Akan tetapi lama kelamaan, karena ia dibesarkan dilingkungan koperasi, didikan secara tidak langsung atau didikan serta praktek koperasi membawa kepada pengetahuan pengejawantahan pasal 33. Ia berhasrat, orang-orang atau masyarakat disekitar koperasi dapat sejahtera dan kalau bisa kesejahteraan tersebut lebih luas lagi.
Visi agraria lain yang ditampilkan oleh Pa Endang adalah memperlakukan tanah dan tanaman sebagaimana layaknya manusia. Ia seakan-akan mengajak berbicara kepada tanaman yang akan disadap. Menurut beliau, sebenarnya, tanaman itu (karet) nangis kala kita menyadapnya. Oleh karenanya, ia selalu wanti-wanti kepada setiap penyadap untuk menghormati tanaman. Perkataan, ‘ujang’, ‘kasep’, ‘bageur’ adalah kata pujian atau kata kasih saying dalam bahasa Sunda yang lazim digunakan untuk memuji atau memanggil secara sayang pada anak. Kata-kata tersebut kerap kali ia gunakan ketika berbicara dengan tanaman karet.
Ia mengontrol sendiri jarak tanam yang tengah dilakukan para pekerja. Hal ini ia maksudkan agar tanaman tersebut bisa benar-benar optimal menghasilkan getah sebab sekali salah dalam penanam, pohon tersebut dia anggap cacat seumur hidup. Kecacatan ini juga tidak serta merta memberi kewenangan untuk membongkar tanaman sebab menurut anggapan beliau, tanaman tersebut masih tetap menghasilkan meskipun tidak optimal. Ia menganggap kegagalan penanaman tersebut sebagai biaya produksi yang harus pula ditanggung perusahaan.
Pak Endang juga memperhatikan aspek lingkungan. Kebijakan koperasi untuk tidak menanami seluruh wilayah perkebunan dengan karet adalah salah satu contohnya. Ia membuat kebijakan untuk tidak menanam tanaman karet pada daerah yang berkontur miring. Ia tidak membabat seluruh tanaman liar ketika pada wilayah bertanaman liar tersebut terdapat sumber air. Ia tidak menanami tanah dengan tanaman karet jika memang wilayah tersebut tidak cocok ditanami karet. Pada sebagian kecil wilayah perkebunan, koperasi juga menanam padi dan juga mengusahakan kolam ikan.
Salah satu kebijakan yang juga pernah dibuat yang bervisi agraria adalah ketika ada tawaran untuk menambang nikel pada sebagian wilayah perkebunan. Saat itu, Pak Endang sempat tergiur untuk memperoleh keuntungan bagi koperasi dengan menambang pada wilayah tersebut. Akan tetapi, setelah beberapa waktu, kebijakan tersebut ia rubah. Ia membatalkan proyek penambangan tersebut. Pertimbangan pembatalan proyek penambangan tersebut adalah pertimbangan kedepan. Pada satu sisi ia (koperasi) memperoleh keuntungan dari hasil penambangan, tetapi disisi lain, tanah bekas penambangan tersebut menjadi rusak dan koperasi belum mampu untuk membenahi tanah bekas penambangan untuk bisa berproduksi kembali. Jadi, dalam hal ini, ia sebagai pimpinan koperasi yang memiliki wewenang penuh untuk membesarkan koperasi, tidak serta merta mendorong beliau untuk tetap selalu mencari keuntungan. Meskipun pernah tergiur, ia memiliki kemampuan untuk kembali pada tujuan awal, yakni koperasi perkebunan karet dan bukan koperasi pertambangan nikel.
Menganggap tanah dan tanaman sebagai mahluk hidup layaknya manusia adalah tipikal yang menonjol dari diri pimpinan Koperasi Wangunwatie. Tipikal lain adalah menganggap manusia sebagai manusia. Manusia disini adalah para pekerja perkebunan, staf pengurus koperasi dan masyarakat sekitar wilayah perkebunan. Prosedur tetap keanggotaan tetap koperasi yang menysaratkan keanggotaan koperasi bagi warga yang adalah setelah dua tahun menjadi pekerja kebun adalah hal yang dianut sejak koperasi ini dipimpin Pak Endang. Perbedaan kecil antara anggota tetap dan bukan tetap adalah kesempatan untuk mengikuti rapat anggota tahunan. Jangka waktu dua tahun adalah ukuran pohon karet sudah mulai menghasilkan dan sanggup membiayai pekerjanya.
Kesempatan menjadi anggota tetap koperasi inipun tetap diberikan kepada warga yang tidak memiliki tanah. Kesempatan ini diberikan karena faktanya, koperasi yang berjalan mulus selama puluhan tahun ini cukup memberikan daya tarik bagi warga luar desa atau warga asli desa untuk datang dan berharap dapat berkeja di koperasi. Kebijakan untuk warga demikian juga diakomodasi dengan memberikan sebagian taanh untuk dikuasasi sebagai tempat tinggal dengan suatu perjanjian. Model seperti ini meski belum banyak dilakukan tetapi ini merupakan cikal bakal pemberdayaan tanah bagi sebanyak-banyak orang.
Kepemimpinan harus mempunyai sandaran-sandaran kemasyarakatan atau social basis.[17]  Basis sosial masyarakat pedesaan lebih condong kearah pertanian yang tidak melulu mencari keuntungan sduah dapat di akomodasi selama masa kepemimpinan Pak Endang. Visi agraria yang dimilikinya membantu mengembangkan koperasi hingga sekarang. Visi itu juga membantu Pak Endang secara pribadi untuk terus memimpin dan tetap dipercaya oleh anggota koperasi.  

2.      Pemimpin Yang Kuat
Dalam psikologi sosial, kepemimpinan sering diteliti dalam analisis kelompok kecil. Dalam sosiologi, kepemimpinan dianggap sebagai pelaksanaan pengaruh atau kekuasaan (power) dalam kumpulan sosial.[18] Maksud pemimpin yang kuat sebagaimana sub judul di atas dalam kaitannya dengan pengelolaan Kopeasi Wangunwatie kurang lebih seperti itu. ’Pimpinan yang pemimpin’ adalah istilah yang cocok juga buat Pimpinan Koperasi Wangunwatie ini. Pak Endang adalah pemimpin koperasi karena ia diangkat oleh rapat anggota tahunan koperasi. Pada saat awal kepengurusannya (kurang lebih 30 tahun yang lalu), Ia dipilih secara aklamasi oleh sebagian besar anggota koperasi. Sebagaimana prosedur pengangkatan pimpinan koperasi, Pak Endang sebagai pimpinan koperasi sudah sangat sesuai. Proses ini memenuhi unsur legalitas.
Sosiologi Weberian mengidentifikasi tiga jenis kepemimpinan sesuai dengan berbagai bentuk otoritas (authority) dan legitimasi (legitimacy). Pertama, pemimpin kharismatik memimpin berdasarkan kekuasaan yang luar biasa yang disematkan oleh pengikut kepada mereka.[19] Pimpinan koperasi, sesuai tatacaranya dipilih oleh rapat anggota tahunan. Proses ini adalah proses penyematan kekuasaan kepada seseorang dari beberapa orang (rapat anggota). Dalam tahap ini, karena pemilihan ketua koperasi terjadi melalui prosedur demikian, maka Pak Endang dapat dikategorikan pemimpin berjenis kharismatik dan dengan begitu, pada taraf minimal, seluruh ketua koperasi adalah pemimpin kharismatik.
Kemudian, apabila arti kharismatik adalah karunia yang diberikan Tuhan kepada seseorang untuk mampu mempengaruhi orang lain, Pak Endang, dalam pandangan penulis adalah pemimpin kahrismatik. Banyak omong (bukan dalam konotasi negatif), kadang-kadang tidak memberi kesempatan orang lain untuk berbicara adalah tipikal Pak Endang yang lain. Dari pembicaraan yang sempat terjadi menunjukkan ia seorang yang memiliki pengetahuan luas dibandingkan dengan jajaran pengurus koperasi yang lain atau yang dituakan di Koperasi Wangunwatie. Meskipun dari segi jenjang pendidikan tidak jelas. Beliau sendiri mengatakan: ’pendidikan saya mah tidak jelas’, ’dikatakan sekolah tinggi juga tidak tapi saya juga bisa jadi dosen’. Saya seringkali memberi ceramah kepada para pejabat-pejabat pemerintah daerah setempat, bahkan pejabat-pejabat nasional, begitulah kata Pak Endang pada kesempatan lain. Prestasi Koperasi Wangunwatie sebagai koperasi yang dijadikan percontohan hingga tingkat nasional menuntut Pak Endang untuk selalu mengasah pengetahuannya. Berbicara dihadapan para pejabat daerah maupun nasional memerlukan pengetahuan tersendiri serta teknik tersendiri.
Hampir setiap orang yang berkaitan dengan koperasi, kata pertama yang terucap adalah, ’jika tidak ada Pak Endang, entah apa jadinya koperasi ini’. Kata itu seringkali muncul pada saat awal penulis melakukan wawancara atau interaksi dengan responden penelitian. Ini menunjukkan bahwa dimata para staf, pekerja kebun, serta masyarakat sekitar, Pak Endang memiliki nilai tersendiri. Jika ia sebagai pemimpin, ia memiliki nilai lebih sebagai pimpinan. Meskipun belum ada bandingannya karena hampir setiap responden tidak bisa menceritakan pola pemimpin terdahulu sebelum era Pak Endang, respon terhadap sikap Pak Endang selama ini menunjukkan respon yang baik. Respon yang baik ini ditunjukkan pula dengan sikap hormat bahkan terlalu hormat yang selalu ditunjukkan. Sikap inferior yang selalu ditunjukkan oleh seluruh karyawan koperasi atau para pekerja. Selama interaksi antara penulis dengan responden (para pengurus koperasi yang lain), dari cara bicara serta pembicaraan tidak ada yang selugas serta seluas pembicaraan penulis dengan Pak Endang.
Respon yang terlalu baik juga ditunjukkan oleh para aparat desa. Beliau selalu dipandang sebagai selalu mempunyai solusi. Berbagai persalahan yang lahir berkaitan dengan pengelolaan desa, aparat desa seolah-olah memiliki sandaran penyelesaian. Ini merupakan hal yang buruk sebab ketergantungan aparat dalam penyelesaian sebuah persoalan begitu tinggi. Akan tetapi, menurut pandangan penulis, posisi ini tidak terlalu dianggap sebagai sesuatu yang menguntungkan bagi Pak Endang sebab segala hal persoalan selalu jalan penyelesaiannya adalah koperasi (Pak Endang).
Kedua, Pemimpin tradisional memimpin berdasarkan adat dan praktik karena keluarga atau kelas tertentu selalu memimpin.[20] Dalam kategori inipun, Pak Endang penulis anggap memenuhi persyaratan. Ia dilahirkan dari seorang ayah yang pekerja perkebunan yang kemudian memimpin rekan-rekannya untuk membentuk wadah bagi pekerja perkebunan. Di sini nampak bahwa kepemimpinan itu seolah-oleh diserahkan dari seorang ayah kepada anaknya. Pak Endang yang dibesarkan dalam lingkungan berbudaya koperasi. Ayahnya dulu memimpin rekan-rekannya mendirikan koperasi dan setelah beberapa tahun berjalan, ia diserahi tampuk kepemimpinan koperasi Wangunwatie. Meskipun melalui proses pemilihan rapat anggota tahunan, suara aklamasi rapat pada saat pemilihan pertama kali tahun 1975 menunjukkan bahwa kharisma Pak Endang sangat tinggi.
Ketiga, Kepemimpinan legal yang didasarkan pada keahlian dan diterapkan sesuai dengan peraturan formal umumnya ditemukan dalam administrasi publik dan perusahaan bisnis modern.[21] Prinsip pemilihan ketua koperasi yang berdasarkan rapat anggota tahunan ingin mengarahkan pimpinan koperasi agar berjenis pemimpin legal. Legalitas itu harus diperoleh bukan saja dari pemerintah. Legalitas itu harus pula diperoleh dari anggota koperasi. Sampai di sini, Pak Endang sebagai ketua koperasi adalah memenuhi unsur legalitas yang bukan saja dari pemerintah tetapi juga dari para anggota koperasi.
Jadi, kepemimpinan Pak Endang sebagai Ketua Koperasi Wangunwatie pada bebeberapa hal memenuhi unsur-unsur kepemimpinan yang pernah ditemui dimasyarakat pada umumnya. Pada kenyataannya, ketiga jenis kepemimpinan yang ada tersebut, baik secara maksimal maupun minimal dipenuhi oleh diri Pak Endang. Sampai di sini, karena kepemimpinan yang demikian, Koperasi Wangunwatie, paling tidak telah berjalan dengan baik hingga sekarang.

3.      Kaderisasi Yang Terlupakan
Sudah hampir 30 tahun Pak Endang memimpin Koperasi Wangunwatie. Dengan pola kepemimpinan yang ia kembangkan, menjadikan ia begitu dipercaya oleh anggotanya. Selama 5 kali rapat anggota, ia selalu mendapat suara aklamasi. Ini menandakan bahwa Pak Endang hingga saat ini masih memperoleh dukungan. Berarti pula, tenaga dan pikirannya masih diperlukan oleh para anggota. Apakah usia 30 tahun adalah usia kepemimpinan yang panjang, pendek, atau cukup panjang? Penulis belum mendapatkan jawabannya. Yang jelas, hingga saat ini Pak Endang masih mendapat kepercayaan dari para anggota.
Kemudian persoalan apa yang mencuat. Suara sumbang tentang kepemimpinan yang dilontarkan bawahan pernah penulis dengar. Beberapa orang menyatakan atau mempertanyakan siapa yang akan melanjutkan tampuk kepemimpinan setelah Pak Endang. Sebagian besar merasa tidak yakin dengan pemimpin-pemimpin sekarang yang berada di bawah Pak Endang. Mereka menyangsikan Pak Nana (yang sering disebut-sebut gantinya Pak Endang) untuk menjadi pengganti Pak Endang.
Suara demikian, penulis tangkap sebagai suara keresahan. Koperasi ini harus tetap berjalan dengan baik. Selama ini, koperasi memang berjalan dengan baik. Hal ini berlangsung karena kepemimpinan yang juga baik. Dalam suasana yang baik ini mengapa suara resah timbul? Menurut pandangan penulis, para anggota sekarang sudah merasa nyaman dengan kondisi koperasi yang berkembang baik dan hal ini ingin mereka pertahankan karena harus dipertahankan. Pertanyaannya kemudian adalah, siapa yang harus memimpin agar tetap status quo. Pertanyaan para anggota itu belum memperoleh jawaban hingga kini.
Apakah keadaan ini disadari oleh para pengurus koperasi berserta seluruh anggota. Untuk level dibawah Pak Endang, penulis pastikan, mereka menyadari hal tersebut. Akan tetapi, untuk Pak Endang sebagai titik sentral koperasi ini, penulis tidak bisa merabanya. Pak Endang yang sedemikian banyak berbicara, tidak sekalipun menyinggung tentang lamanya masa kepemimpinan beliau. Dia hanya berseloroh sudah tidak sekuat dulu ketika beliau mengajak penulis berkeliling perkebunan. ”yah cukup sebulan sekali lah jalan-jalannya, cape tiap hari mah”. Sebuah kesadaran yang mendalam tentang seorang manusia yang beranjak tua. Akan tetapi, kesadaran yang terlalu dalam ini tidak cukup untuk pengelolaan koperasi.
Sementara itu, untuk level di bawah Pak Endang bahkan yang lebih bawah lagi, pertanyaan kegamangan tentang masa depan koperasi sudah cukup membuktikan adanya keinginan untuk mempertahankan koperasi berjalan dengan baik. Akan tetapi menyuarakan pentingnya kaderisasi merupakan hal yang terlalu sensitif diwacanakan. Para pekerja kebun, yang juga anggota koperasi, hanya mampu berkeluh kesah menghawatirkan kepemimpinan koperasi jika Pak Endang sudah tidak ada. Ketika ditanyakan apakah tidak ada pelatihan-pelatihan atau proses kaderisasi, mereka menjawab tidak tahu.
Panjangnya waktu kekuasaan juga mengarah kepada kemutlakan kekuasaan. Bibit-bibit power tends to corrupt mulai bersemi. Hal ini bisa jadi tidak disadari pula oleh penguasa. Kepentingan penguasa untuk tetap berkuasa selalu diusahakan sedemikian rupa baik sacara sadar atau tidak sadar (dengan berpikir yang betul-betul logis). Pergunjingan kalangan bawah dan the outsider tentang pengakomodasian anggota keluarga menjadi pengurus koperasi dan memegang jabatan penting perlu juga menjadi perhatian. Ini bisa jadi merupakan sebuah tuduhan yang tidak berdasar. Akan tetapi, ini juga bukan hal yang tidak mungkin. Kekuasaan yang terlalu besar membawa kepada pembuatan kebijakan yang cenderung elitis. Rapat anggota sebagai pemegang kekuasaan tertinggi seringkali diabaikan. Perkataan yang menjadi tameng untuk hal ini adalah ’yang penting koperasi tidak dirugikan karena dengan begitu anggota juga tidak dirugikan’.
Kesadaran akan pentingnya kaderisasi bisa jadi sudah ada dalam pikiran para pengelola berseta anggota koperasi. Akan tetapi, budaya sopan santun yang dimiliki memagari pewacanaan kaderisasi. Meskipun dirasakan sebagai sesuatu yang sangat penting, kaderisasi seolah-olah hanya cukup dalam pergunjingan. Disinilah pentingnya peran aparat pemerintah sebagai fasilitator kesejahteraan masyarakat. Kemampuan aparat untuk mendeteksi serta memetakan berbagai kondisi serta permasalahan terkini yang terjadi dimasyarakat yang belum disadari oleh masyarakat sangatlah diperlukan.

D.    PENUTUP
1.      Kesimpulan
a.       Bentuk koperasi rakyat sebagai pemegang hak penguasaan tanah yang disodorkan dalam konsep Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia sebagai sarana delivery system di Desa Wangunwatie Kecamatan Karangnunggal Kabupaten Tasikmalaya terbukti membawa kesejahteraan pada masyarakat desa. Pola kekeluargaan yang dibawa oleh koperasi hasil inisiasi masyarakat setempat terbukti memiliki kontribusi bagi warga sekitar perkebunan.
b.      Koperasi wangunwatie sudah bertahan lebih dari 30 tahun dan memberikan kontribusi bagi kesejahteraan masyarakat sekitar selama itu pula. Ia bisa bertahan karena salah satunya mempunyai pemimpin yang sangat kuat. Berbagai hambatan dapat diselesaikan dengan adanya kepemimpinan seperti ini. Disamping kuat, pemimpin koperasi yang berbasis produksi pertanian juga harus memiliki visi agraria. Visi ini berguna agar pembelokan-pembelokan yang berasal dari dalam maupun luar pimpinan dapat diminimalisasi.
c.       Kaderisasi pimpinan yang tidak sempat dilakukan akan menimbulkan kegamangan pada pengikut. Kesadaran yang belum mewujud ini bisa sangat merugikan.
d.      Kepemimpinan yang terlalu kuat juga tidak selamanya menguntungkan bagi tatanan masyarakat yang hendak dibangun. Ia bisa menjadi terlalu berkuasa sehingga demokrasi dikesampingkan dan pada akhirnya membawa koperasi kearah kemunduran.

2.      Saran
a.       Bentuk koperasi sebagai wadah penguasaan hak atas tanah perlu terus dikembangkan terlebih lagi jika bentuk tersebut bermula dari inisiasi warga masyarakat.
b.      Pemimpin koperasi yang kuat serta memiliki visi agraria bukannya dilahirkan akan tetapi bisa juga dibentuk. Oleh karenanya, kaderisasi pimpinan juga perlu dilakukan sejak dini.
c.       Bila hal tersebut tidak disadari oleh masyarakat, peran aparat pemerintah sangat diperlukan. Tangan aparat sudah cukup mumpuni untuk membangunkan kesadaran positif menjadi sebuah tindakan nyata.



Daftar Pustaka


Abercrombie, Nicholas, Stephen Hill, Bryan S. Turner, (terj) Desi Noviyani, Eka Adinugraha, dan Rh. Widada, Kamus Sosiologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Badan Pertanahan Nasional Repubik Indonesia, Reforma Agraria: Mandat politik, konstitusi, dan hokum dalam rangka mewujudkan “Tanah untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat”, Jakarta: BPN-RI, 2007.
Moleong, Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remadja Rosda Karya, 2008.
Outhwaite, Willian (ed), Tri Wibowo BS (terj), Kamus Lengkap Pemikiran Sosial Modern, Jakarta: Kencana, 2008.
Shohibuddin, Mohammad dan Ahmad Nasih Luthfi, Landreform Ala Ngandagan: Inovasi Sistem Tenurial Adat di Sebuah Desa Jawa, Yogyakarta: STPN Press dan SAINS, 2010.


* Deden Dani Saleh, S.Sos., M.Si adalah staf pengajar dan staf peneliti pada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional.
[1] Dengan garis pantai sekitar 81 ribu, semestinya tidak ada sama sekali nelayan yang hidup miskin, mengingat nilai kekayaan laut terutama ikannya yang luar biasa. Pantai ataupun laut yang terbentang mengagumkan itu, tidak bisa menghidupi kaum nelayan dan pada sisi lain hasil laut Indonesia justru banyak dikonsumsi oleh berbagai negara lain, di samping sering dicuri para nelayan negara tetangga. Sementara bidang pertanahan, potensinya juga dikuasai oleh sedikit pihak yang tidak peduli memberi akses pada penciptaan kesejahteraan rakyat. “Rakyat hanya memiliki sedikit sekali tanah, terus kerap terusir dari tanahnya yang hanya sedikit itu, dan dibiarkan hidup menderita di tengah-tengah banyak tanah terlantar yang salah urus oleh pemerintah ataupun pengusaha pemegang konsesi pertanahan,” “Inilah ironisnya negeri kita yang kaya raya,” Prabowo Subiyanto, Ironi Indonesia Negara Yang Kaya, http://pesatnews.com/2010/09/29/nasional/prabowo-ironi-indonesia-negeri-yang-kaya-raya/, diakses tanggal 26 Maret 2011.
[2] Pertama, sudah diketahui umum bahwa kaum tani di negeri agraris ini berada dalam lapisan social yang tidak menguntungkan….Kedua, ketimpangan penguasaan semakin menajam….Ketiga, maraknya darama penggusuran tanah petani untuk berbagai keperluan di luar pertanian. Usep Setiawan, Kembali ke Agraria, Yogyakarta, STPN Press, 2010. Hal 51.
[3] BPN-RI, Reforma Agraria: Mandat Politik, Konstitusi, dan Hukum dalam Mewujudkan “Tanah untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat”, Jakarta: BPN-RI, 2007.
[4] ibid
[5] William Outhwaithe, Kamus Lengkap Pemikiran Sosial Modern, Jakarta: Kencana, 2008.
[6] ibid
[7] Akan tetapi ada situasi yang melahirkan jenis kepemimpinan yang tidak diharapkan, seperti kepribadian otoriter. Para peneliti lain menucrahkan upayanya untuk mengungkap hubungan antara kepemimpinan dengan konteks, dengan tujuan mengembangkan pemimpin yang paling efektif dan menciptakan gaya kepemimpinan yang demokratis. ibid
[8] ibid
[9] ibid
[10] Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remadja Rosda Karya, 2008. Hal iii.
[11] Moleong (2002), Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya ibid. Hal 31
[12] menurut Lofland dan Lofland (1984:47), sumber data yang utama dalam sebuah penelitian kualitatif adalah kata-kata, dan tindakan selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain, ibid. Hal 157.
[13] ibid
[14] Dilihat dari tingkat efisiensinya, masing-masing wadah pelaku ekonomi tersebut memiliki keunggulan komparatif sendiri-sendiri dalam mewujudkan perekonomian nasional yang berlandaskan Trilogi Pembangunan, www.docstoc.com/.../62-BAB-III-KOPERASI-SEBAGAI-SOKOGURU-EKONOMI-Pembangunan-Koperasi, diunduh tanggal 17 September 2010.
[15] Mohammad Hatta, “The Place of Coopertive In Indonesia Society, “ dalam bukunya The Cooperative Movement…. Hal 1-20 dalam www.docstoc.com/.../62-BAB-III-KOPERASI-SEBAGAI-SOKOGURU-EKONOMI-Pembangunan-Koperasi, diunduh tanggal 17 Septe,ber 2010.
[16] Endriatmo Soetarto dalam Mohammad Shohibuddin, Landreform Ala Ngandagan: Inovasi Sistem Tenurial Adat di Sebuah Desa Jawa, Yogyakarta: STPN Press dan SAINS, 2010. Hal xii.
[17] Soerjono, Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Press, 1990. Hal 324.
[18] Nicholas Abercrombie, Kamus Sosiologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010. Hal 307.
[19] Ibid.
[20] Ibid.
[21] Nicholas Abercrombie, Kamus Sosiologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010. Hal 307.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar