Jumat, 02 Desember 2011

PENGATURAN HAK ATAS TANAH DALAM HUKUM TANAH NASIONAL

Yudhi SetiawanÒ

abstractions

Rights domination of land is refer to authority, obligation and/or prohibition order for the right owner to do something to land. By using normative law method, this article wish to explain that something may, obliged and/ or prohibited to do is distinguishing measuring rod between various right domination of land which arranged in national land law.

Keywords: arrangement of land right, national land law.



Latar Belakang

Kewenangan negara yang berkaitan dengan tanah diatur dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 33 ayat (3) yang menentukan: bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan  sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Tanah adalah bagian dari bumi,  oleh sebab itu tanah dikuasai oleh negara. Berdasarkan uraian di atas, dapat dirinci bahwa  konsep ’dikuasai negara’ artinya negara  mengatur, negaralah yang mempunyai kewenangan mengelola dan mengatur tanah guna sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; dengan kata lain, pada tingkatan tertinggi negara yang berhak mengatur peruntukan dan pemanfaatannya.[1] Pengaturan oleh negara diperlukan karena kekhawatiran bahwa tanpa campur tangan negara akan terjadi ketidakadilan dalam akses terhadap perolehan dan pemanfaatan sumber daya alam oleh masyarakat. Ketegasan kewenangan demikian adalah wewenang yang diatribusikan dalam Undang-Undang Dasar, sehingga negara berhak untuk menuntut kepatuhan. Kewenangan inilah yang melahirkan otoritas negara atas tanah secara hukum publik;  dengan demikian kewenangan negara dalam  bidang pertanahan baru dapat diketemukan apabila didasarkan pada perluasan tafsir dari Pasal 33 ayat (3) UUD tahun 1945.
 Pengaturan hak atas tanah telah diatur dalam  Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria L.N. Tahun 1960 Nomor 104. Prinsip nasionalitas Undang-Undang ini memberi kewenangan yang sangat luas pada negara. Pasal 2 UUPA  menentukan:
Ayat (1) : atas dasar ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi seluruh rakyat Indonesia.

Ayat (2) : Hak Menguasai Negara dalam ayat (1) Pasal ini memberi wewenang untuk :
a.    mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, enggunaan   persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b.    menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c.    menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan hukum mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Ayat (3) : wewenang yang bersumber pada Hak Menguasai Negara tersebut pada ayat (2) Pasal ini digunakan untuk mendapatkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka berdaulat adil dan makmur.

Ayat (4) :   Hak Menguasai Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.

Ketentuan di atas bersifat imperatif, artinya suatu perintah kepada negara agar bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang diletakkan dalam penguasaan negara itu dipergunakan untuk mewujudkan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia; dengan demikian, tujuan dari penguasaan oleh negara atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk mengatur agar dapat mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia.
Berlakunya UUPA, membuat perubahan fundamental dalam hukum agraria di Indonesia terutama hukum di bidang pertanahan yang disebut hukum tanah atau lebih dikenal sebagai hukum agraria. Perubahan itu bersifat mendasar, baik mengenai struktur perangkat hukumnya, konsepsi yang mendasarinya ataupun isinya. Tanah mempunyai makna yang sangat strategis karena di dalamnya selain terkandung aspek fisik tetapi juga aspek sosial, ekonomi, budaya, agama, politik, pertahanan-keamanan, dan aspek hukum. Secara teoritis sumber daya tanah memiliki 6 (enam) jenis nilai, yaitu: (1) nilai produksi, (2) nilai lokasi, (3) nilai lingkungan, (4) nilai sosial, dan (5) nilai politik serta (6) nilai hukum.[2] Sumber daya tanah mempunyai nilai sempurna apabila nilai tanah mencakup ke-enam jenis nilai tersebut. Ketidaksempurnaan nilai tanah akan mendorong mekanisme pengalokasian tanah secara tidak adil dan tidak merata. Golongan masyarakat yang mempunyai dan menguasai akses cenderung memanfaatkan ketidaksempurnaan tersebut untuk kepentingannya. Untuk itu peran pemerintah di dalam mengelola sumber daya tanah sangat diperlukan. Peran tersebut tidak hanya terbatas pada upaya  untuk menyempurnakan mekanisme yang dapat mengalokasikan sumber daya tanah,  tetapi juga memerlukan suatu kelembagaan agar tanah dapat dimanfaatkan secara lebih sejahtera, adil dan merata. Dalam penyelenggaraan pengelolaan tanah khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan penguasaan dan hak-hak atas tanah  diperlukan lembaga pendaftaran tanah untuk memberikan kepastian hukum antara pemegang hak dengan tanah, peralihan hak tanah, hak tanggungan atas tanah, peralihan hak tanggungan. Lebih lanjut, pendaftaran tanah merupakan sumber informasi untuk membuat keputusan dalam pengelolaan pertanahan baik dalam penataan penguasaaan, pemilikan, penggunaaan dan pemanfaatan tanah. Mahfud MD[3] menjelaskan, selama pemerintahan Orde Baru fungsi sosial tanah telah menimbulkan persoalan-persoalan sosial dan politik yang mengusik kita sebagai bangsa. Ada peraturan yang tidak (dapat) dilaksanakan, ada juga overlap (tumpang tindih) antar lebih dari satu peraturan baik secara vertikal maupun horizontal. Adanya pendudukan kembali tanah-tanah masyarakat yang dulunya telah dibebaskan, seperti tanah peternakan Tapos dan tanah-tanah untuk fasilitas umum menunjukkan bahwa dulu ada kelemahan dari aspek hukum dalam penguasaannya. Berdasarkan uraian di atas yang menarik dan penting untuk dikaji dalam tulisan ini adalah Hak penguasaan atas tanah dalam hukum tanah nasional dan hak menguasai tanah dari negara.

Permasalahan
Berdasarkan uraian di atas, yang akan dikaji dan menjadi issu sentral dalam tulisan ini adalah:
a.    Hak penguasaan atas tanah dalam hukum tanah nasional.
b.    Hak menguasai tanah dari negara.
Kerangka Pemikiran
Pengertian “penguasaan” dapat dipakai dalam arti fisik, dan arti yuridis; juga beraspek perdata dan beraspek publik. Penguasaan yuridis dilandasi hak yang dilindungi oleh hukum dan memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihakinya. Dalam penguasaan yuridis, walaupun telah diberikan kewenangan untuk menguasai tanah yang dihaki secara fisik pada kenyataannya penguasaan fisiknya dapat dilakukan oleh pihak lain. Sebagai contoh pertama : tanah yang dimiliki disewakan kepada pihak lain dan penyewa yang menguasai secara fisik. Contoh kedua: tanah dalam penguasaan yuridis, tetapi dikuasai secara fisik oleh pihak lain tanpa alas hak yang sah. Dalam kedua contoh di atas, pemilik tanah berdasarkan hak penguasaan yuridisnya berhak untuk menuntut diserahkannya kembali tanah yang bersangkutan secara fisik kepadanya. Hak penguasaan atas tanah berisi serangkaian wewenang, kewajiban, dan atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki. Sesuatu yang boleh, wajib, atau larangan untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi kriterium atau tolok ukur pembeda di antara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam Hukum Tanah.[4] Pengaturan hak-hak penguasaan atas tanah dalam hukum tanah dibagi menjadi dua:
1.    Hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga hukum.
Hak penguasaan atas tanah ini belum dihubungkan dengan tanah dan orang atau badan hukum tertentu sebagai pemegang haknya. Ketentuan-ketentuan dalam hak penguasaan atas tanah, adalah sebagai berikut:
a.    memberi nama pada hak penguasaan yang bersangkutan;
b.    menetapkan isinya, yaitu mengatur apa saja yang boleh, wajib, dan dilarang untuk diperbuat oleh pemegang haknya serta jangka waktu penguasaannya;
c.    mengatur hak-hak mengenai subjeknya, siapa yang boleh menjadi pemegang haknya, dan syarat-syarat bagi penguasaannya;
d.    mengatur hal-hal mengenai tanahnya.
2.    Hak penguasaan atas tanah sebagai hubungan hukumnya yang konkret.
Hak penguasaan atas tanah ini sudah dihubungkan dengan tanah tertentu sebagai objeknya dan orang atau badan hukum tertentu sebagai subjek atau pemegang haknya. Ketentuan-ketentuan dalam hak penguasaan atas tanah, adalah sebagai berikut:
a.    mengatur hal-hal mengenai penciptaannya menjadi suatu hubungan hukum yang konkrit, dengan nama atau sebutan hak penguasaan atas tanah tertentu;
b.    mengatur hal-hal mengenai pembebanannya dengan hak-hak lain;
c.    mengatur hal-hal pemindahannya kepada pihak lain;
d.    mengatur hal-hal mengenai hapusnya;
e.    mengatur hal-hal mengenai pembuktiannya.[5]
Hirarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam UUPA dan hukum tanah nasional, adalah:
1.    Hak Bangsa Indonesia atas tanah.
2.    Hak menguasai dari negara atas tanah.
3.    Hak ulayat masyarakat hukum adat.
4.    Hak perseorangan atas tanah, meliputi:
a.    Hak-hak atas tanah.
b.    Wakaf tanah hak milik.
c.    Hak tanggungan.
d.    Hak milik atas satuan rumah susun.
Ketentuan-ketentuan yang beraspek publik meliputi bidang legislatif, bidang eksekutif/administratif dan bidang yudisial dimana kegiatannya dilakukan oleh negara sebagai badan penguasa. Bidang legislatif meliputi tugas/wewenang pembuatan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan. Bidang yudisial meliputi tugas kewenangan mengadili kasus-kasus pertanahan. Ketentuan-ketentuan di bidang eksekutif/administratif, yang dibuat justru untuk memberikan landasan hukum bagi penguasa eksekutif dalam melaksanakan politik pertanahan yang ditetapkan penguasa negara masing-masing. Bidang hukum tanah ini mempunyai fungsi dan peranan yang penting dan strategis bagi tercapainya tujuan politik pertanahan yang ditetapkan.
Ketentuan-ketentuan hukum tanah yang beraspek perdata mengatur hak-hak penguasaan atas tanah yang subyeknya perorangan dan badan-badan hukum perdata serta badan-badan hukum pemerintah yang menguasai tanah untuk keperluan memenuhi kebutuhan dan/atau melaksanakan tugasnya masing-masing. Ada hak-hak penguasaan atas tanah yang beraspek perdata, yang memberikan kewenangan kepada kreditor untuk menjual lelang tanah tertentu yang dijadikan agunan, jika dalam hubungan utang-piutang tertentu debitor cidera janji, kreditor berwenang untuk mengambil seluruh atau sebagian hasil pelelangan guna melunasi piutangnya, dengan hak mendahulu daripada kreditor-kreditor lain. Hak penguasaan ini kita sebut hak jaminan atas tanah.[6]

Hak Penguasaan Atas Tanah Dalam Hukum Tanah Nasional
Dalam rangka membangun hukum tanah nasional, hukum adat merupakan sumber utama untuk memperoleh bahan-bahannya, baik berupa konsepsi, asas-asas dan lembaga-lembaga hukumnya untuk dirumuskan menjadi norma-norma hukum tertulis yang disusun menurut  hukum adat. Hukum tanah baru yang dibentuk dengan menggunakan bahan-bahan dari hukum adat, berupa norma-norma hukum yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan sebagai hukum yang tertulis merupakan hukum tanah nasional positif. UUPA merupakan hasilnya yang pertama. Fungsi hukum adat sebagai sumber utama dalam pembangunan hukum tanah nasional inilah yang dimaksudkan dalam konsideran UUPA, bahwa hukum tanah nasional “berdasarkan” atas hukum adat. Konsepsi yang mendasari hukum tanah nasional adalah konsepsinya hukum adat, yaitu konsepsi yang: komunalistik religius, yang memungkinkan penguasa tanah secara individual, dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsur kebersamaan.[7] Sifat komunalistik religius dari konsepsi hukum tanah nasional sesuai dengan ketentuan pasal 1 ayat (2) UUPA adalah:
“Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai Karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah bumi, air dan ruang  angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional”.

Dalam rangka hukum tanah nasional, dimungkinkan para warga negara Indonesia masing-masing menguasai bagian-bagian dari tanah bersama tersebut secara individual, dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsur kebersamaan. Unsur kebersamaan tersebut sesuai dengan ketentuan pasal 6 UUPA yaitu “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”. Penggunaan norma-norma hukum adat sebagai pelengkap hukum tanah yang tertulis tersebut bukanlah tanpa syarat. Norma-norma hukum tersebut berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan UUPA (pasal 56 dan 58). Pasal 5 bahkan memberikan syarat yang lebih rinci, yaitu sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-Undang ini dan dengan peraturan-peraturan perundangan lainnya. Ketentuan hukum tanah tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara. Hukum tanah justru harus mengabdi pada kepentingan nasional dan negara. Kepentingan nasional dan negara harus ditempatkan di atas kepentingan golongan dan daerah, apalagi kepentingan perorangan. Contoh ketentuan hukum adat yang bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan persatuan bangsa dapat dilihat di dalam penjelasan umum angka II ke 3 dalam hubungannya dengan pelaksanaan hak ulayat. Hak ulayat adalah hak dari suatu masyarakat hukum adat atas lingkungan tanah wilayahnya yang memberi wewenang tertentu kepada penguasa-penguasa adat untuk mengatur dan memimpin penggunaan tanah di wilayah masyarakat hukum tersebut. UUPA mengakui hak ulayat tetapi tidak membenarkan apabila berdasarkan kekuasaannya sebagai pelaksana hak ulayat, penguasa-penguasa adat menghalang-halangi atau merintangi usaha-usaha pemerintah untuk mencapai kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya. Karena UUPA merupakan peraturan dasar hukum tanah nasional, dengan sendirinya tidak boleh ada peraturan hukum tanah baik tertulis maupun tidak tertulis yang bertentangan dengan ketentuan UUPA. Salah satu contoh ketentuan penting dalam UUPA adalah bahwa tiap-tiap warganegara Indonesia mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah. Ketentuan hukum adat di sementara daerah yang hanya memberi kemungkinan kepada anggota-anggota masyarakat hukumnya sendiri untuk mempunyai tanah dengan hak milik adalah bertentangan dengan ketentuan UUPA dalam pasal 9 ayat 2. Pasal ini memuat ketentuan bahwa dalam hal pemilikan tanah tidak diadakan perbedaan antara laki-laki dan wanita. Hukum adat di sementara daerah yang tidak memungkinkan orang-orang wanita ataupun orang-orang laki-laki mempunyai tanah dengan hak milik misalnya, akan bertentangan dengan ketentuan UUPA. Pasal 53 UUPA mengharuskan diadakannya peraturan mengenai hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian untuk menghilangkan unsur-unsurnya yang bersifat pemerasan. Berlakunya peraturan-peraturan tersebut ketentuan-ketentuan hukum adat yang bertentangan dengan itu menjadi tidak berlaku lagi. Dalam pengertian fungsi dan kedudukan hukum adat sebagai hukum yang melengkapi hukum tanah positif yang tertulis, hukum adat tidak berada diluar atau berhadapan ataupun bertentangan dengan hukum tanah nasional. Norma-norma hukum adat merupakan bagian dari hukum tanah nasional yaitu merupakan bagiannya yang tidak tertulis. Sepanjang hal-hal yang semula diatur oleh hukum adat kemudian mendapat pengaturan baru dalam peraturan perundang-undangan, hukum adat telah terserap di dalamnya. Dengan kata lain, dalam hal pembentukan hukum tanah yang baru itu bersumber (mengambil bahan-bahannya) dari hukum adat. Dengan berkembangnya hukum tanah yang baru, dengan sendirinya ruang lingkup hukum adat menjadi berkurang. Dalam Penjelasan Umum I dinyatakan  3 tujuan pokok UUPA yaitu:
1.    Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur;
2.    Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan;
3.    Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa peletakkan dasar-dasar bagi ketiga bidang tersebut merupakan  penjelmaan sila-sila Pancasila. Kelima Sila Pancasila tersebut diwujudkan dalam ketentuan-ketentuan pokok UUPA. Dengan demikian penyusunan hukum tanah nasional didasarkan pada konsep Hukum Adat.
Hak Menguasai Tanah dari Negara
Hak menguasai dari negara atas tanah bersumber pada hak bangsa Indonesia atas tanah, yang hakikatnya merupakan penugasan pelaksanaan tugas kewenangan bangsa yang mengandung unsur hukum publik.[8] Tugas mengelola seluruh tanah bersama tidak mungkin dilaksanakan sendiri oleh seluruh Bangsa Indonesia, maka dalam penyelenggaraannya bangsa Indonesia sebagai pemegang hak dan pengemban amanat tersebut, pada tingkatan tertinggi dikuasakan kepada Negara Republik Indonesia sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat (pasal 2 ayat (1) UUPA). Negara sebagai organisasi kekuasaan “mengatur” dan kemudian “menyelenggarakan” artinya melaksanakan (execution) atas penggunaan/peraturan (use), persediaan (reservation) atas pemeliharaannya (maintenance) dari bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Juga untuk menentukan dan mengatur (menetapkan dan membuat peraturan-peraturan) hak-hak apa saja yang dapat dikembangkan dari hak menguasai dari negara tersebut.[9] Wewenang agraria dalam UUPA ada pada pemerintahan pusat; pemerintah daerah tidak boleh melakukan tindakan kewenangan agraria jika tidak ditunjuk atau mendapat delegasi kewewenangan dari pemerintah kepada: daerah-daerah otonom; lembaga pemerintahan; departemen tertentu; atau kepada masyarakat hukum adat. Wewenang hak menguasai dari negara atas tanah sesuaiketentuan dalam pasal 2 ayat (2) UUPA:
a.    mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan tanah;
b.    menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan tanah;
c.    menentukan dan mengatur hubungan-hugungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai tanah.

Hak menguasai dari negara meliputi seluruh bumi, air dan ruang angkasa di wilayah Negara Republik Indonesia, baik yang:
a.    di atasnya sudah ada hak-hak perorangan/keluarga, apapun nama hak itu,
b.    di atasnya masih ada hak ulayat dan hak-hak semacam itu, apapun nama hak tersebut,
c.    di atasnya tidak ada hak-hak tersebut sub a dan b, dan/atau sudah tidak ada pemegang hak-hak tersebut. (misalnya bekas tanah swapraja, tanah bekas hak-hak barat, tanah tak bertuan, hutan Negara dan lain-lain sebagainya).[10]  

Hak menguasai dari negara yang meliputi tanah dengan hak-hak perorangan bersifat pasif. Hak menguasai dari negara menjadi aktif, apabila tanah tersebut dibiarkan tidak diurus/diterlantarkan.[11] Hak menguasai dari negara atas tanah yang tidak dipunyai oleh perorangan/keluarga dengan hak apapun dan masih belum dibuka, bersifat aktif. Hal ini berarti bahwa setiap kali apabila negara memerlukan tanah untuk keperluan pembangunan dan penyebaran penduduk, pemerintah dapat membuka tanah tersebut dengan memperhatikan hak ulayat suatu masyarakat hukum apabila itu masih ada di atasnya. “Misalnya didalam pemberian suatu hak atas tanah (umpamanya guna usaha) masyarakat hukum yang bersangkutan sebelumnya akan didengar pendapatnya dan akan diberi “recognitie” yang memang ia berhak menerimanya selaku pemegang hak ulayat itu”.[12]  Hak menguasai negara meliputi bumi, air dan ruang angkasa, jadi baik yang sudah ada hak seseorang maupun yang tidak/belum ada. Kekuasaan negara mengenai tanah yang sudah dipunyai orang dengan sesuatu hak dibatasi oleh isi daripada hak itu, artinya sampai seberapa jauh negara memberi kekuasaan kepada yang mempunyai hak untuk menggunakan haknya, sampai disitulah batas kekuasaan negara tersebut. Hak menguasai dari negara selain pembatasan yang dibuat oleh pasal 2 ayat 2 UUPA dapat dikonstruksikan dalam pengertian politis yaitu:[13]
a.    konstatasi hak seseorang atau badan yaitu melalui lembaga konversi atas tanah-tanah eks B.W. dan eks hukum adat atas tanah-tanah yang dikuasai oleh pemerintah daerah otonom ataupun yang dikuasai oleh lembaga-lembaga pemerintahan;
b.    memberikan hak-hak baru yang ditetapkan oelh UUPA seperti hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai dan hak pengelolaan;
c.    mengesahkan sesuatu perjanjian yang diperbuat antara seseorang pemegang hak milik dengan orang lain untuk menimbulkan suatu hak lain di atasnya, seperti yang kita kenal hak guna bangunan di atasnya hak milik dan hak pakai di atas hak milik (pasal 19 PP. 10/1961).
Hak Menguasai dari negara sebagai organisasi kekuasaan itu untuk:
a.    memberikan hak-hak keperdataan, baik kepada perorangan ataupun badan-badan hukum privat, seperti Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai;
b.    mengakui suatu hukum publik yang sudah ada sebelummnya, seperti Hak Ulayat masyarakat-masyarakat hukum adat (pasal 3 UUPA);
c.    memberikan hukum publik yang baru, yaitu Hak Pengelolaan yang diberikan kepada lembaga-lembaga pemerintahan ataupun perusahaan-perusahaan negara/daerah. Dari hak pengelolaan itu dapat diberikan oleh pemegang Hak Pengelolaan ini Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai, dan akhirnya dari Hak Menguasai dari Negara ini;
d.    dapat diberikan Hak Pakai (khusus) yaitu hak pakai yang tidak terbatas waktunya dan diberikan untuk pelaksanaan tugasnya, seperti Hak Pakai untuk perwakilan negara-negara asing, untuk kepentingan lembaga pemerintahan (seperti untuk bangunan pendidikan dan sebagainya) dan untuk kepentingan sosial dan agama.[14]
Hak menguasai dari negara tidak dapat dipindahkan kepada pihak lain. Tetapi tanah yang dikuasai negara dapat diberikan dengan sesuatu hak atas tanah kepada pihak lain. Pemberian hak atas tanah yang dikuasai negara kepada seseorang atau badan hukum bukan berarti melepaskan hak menguasai tersebut dari tanah yang bersangkutan. Tanah tersebut tetap berada dalam penguasaan negara.  Penguasaan dan penggunaan tanah yang dilandasi hak tersebut dilindungi oleh hukum. Bukan saja terhadap gangguan dari sesama warga, tetapi juga terhadap gangguan dari penguasa sekalipun jika gangguan tersebut tidak ada dasar hukumnya. Untuk menanggulangi gangguan tersebut disediakan sarana penanggulangannya melalui gugatan perdata pada peradilan Umum atau melalui tindakan administratif dan pidana berdasarkan Undang-undang nomor 51/Prp/1960. Hak pengelolaan dalam sistematika hak-hak penguasaan atas tanah tidak dimasukkan dalam golongan hak-hak atas tanah. Pemegang hak pengelolaan memang mempunyai kewenangan untuk menggunakan tanah yang dihaki bagi keperluan usahanya. Dalam penyediaan dan pemberian tanah pemegang haknya diberi kewenangan untuk melakukan kegiatan yang merupakan sebagian dari kewenangan negara. Bagian-bagian tanah hak pengelolaan tersebut dapat diberikan kepada pihak lain dengan Hak Milik, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai, pemberiannya dilakukan oleh Pejabat Badan Pertanahan Nasional yang berwenang.

Kesimpulan
1.    Hak penguasaan atas tanah adalah wewenang, kewajiban dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu atas tanah yang dihaki. Sesuatu yang boleh, wajib dan/atau dilarang untuk diperbuat merupakan tolok ukur pembeda antara berbagai hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam hukum tanah nasional.
2.    Hak menguasai dari negara dan segala wewenang yang timbul karenanya, tidak bertentangan dengan hak ulayat dan hak-hak serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, tetapi merangkum semua hak ulayat serta hak-hak atas tanah dan air menurut hukum adat sejauh masih ada yang tidak bertentangan dengan prinsip persatuan bangsa, kepentingan nasional dan Negara. Hak menguasai dari Negara meliputi semua tanah yang ada dalam wilayah Republik Indonesia, baik tanah-tanah yang tidak atau belum maupun yang sudah dihaki dengan hak-hak perorangan. Tanah-tanah yang tidak atau belum dihaki dengan hak-hak perorangan dalam UUPA disebut tanah-tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, yang dalam administrasi pertanahan disebut tanah negara.  


DAFTAR BACAAN
Buku :
Adhie, Brahmana dan Hasan Basri Nata Menggala, 2002, Reformasi Pertanahan, Mandar Maju, Bandung.

Harsono, Boedi, 2003, Hukum Agraria Indonesia, Djambatan, Jakarta.

Parlindungan, A.P., 1998, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Mandar Maju, Bandung.

Santoso, Urip, 2006, Hukum Agraria & Hak-Hak Atas Tanah, Kencana, Jakarta.

Soetiknjo, Imam, 1994, Politik Agraria Nasional, Gajah Mada University Press, Jogjakarta

Websites :
http://www.bpn.go.id/engine/contentmayor.


Ò Data penulis :
        Yudhi Setiawan, BPN-PROV.BALI, Doktor Ilmu Hukum Univ.Airlangga.
[1] Yudhi Setiawan (1), Instrumen Hukum Campuran (Gemeenschapelijkrecht) Dalam Konsolidasi Tanah, P.T. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009, h.45
[2] Lihat http://www.bpn.go.id/engine/contentmayor.
[3] Mahfud MD, Hasil Seminar Nasional Tentang “Reformasi Pertanahan”, Mandar Maju, cet. I, Yogyakarta 2002, hal. 25
[4] Pendapat Boedi Harsono, dikutip Urip Santoso dalam Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, cet. II, Kencana, Jakarta 2006, hal. 74.
[5] Ibid, h. 74-75.
[6] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I, Djambatan, Jkt 2003, h. 30.
[7] Ibid, hal. 206.
[8] Urip Santoso, Hukum Agraria & Hak-Hak Atas Tanah, Kencana, Cet. II, Jakarta 2006, hal. 77.
[9] A.P. Parlindungan, Komentar atas Undang-Undang Pokok Agraria, Mandar Maju, Bandung 1998, hal. 44.
[10] Imam Soetiknjo, Politik Agraria Nasional, Gajah Mada University Press, Cet 4, Jogjakarta 1994, hal. 52-53.
[11] Ibid, h. 53.
[12] Penjelasan UUPA II No. 3.
[13] A.P. Parlindungan, Op. Cipt. h. 45.
[14] Ibid, hal 46.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar