Kamis, 01 Desember 2011

TANAH ADAT, MASYARAKAT ADAT DAN DESA ADAT


Oleh: Julius Sembiring[1]

Abstract
Customary land, customary people and customary village are the debatable issues. The debate contributes to the different ways of solving the problems by stakeholder. This article argues that there are different environments to acknowledge customary land and customary people related to the different regimes. Customary village, on the other hand, is the one factor in public administration discource to solve the problems of customary land and customary people.
Key words: customary land, customary people, customary village, problem, environment and solution.

Pertanyaan yang ‘menggelitik’ dalam membaca judul di atas adalah: masih adakah tanah adat, siapa yang menguasai dan di mana keberadaannya? Naluri ilmiah akan berargumentasi bahwa tanah adat dikuasai oleh masyarakat adat dan areal itu berada dalam wilayah desa adat. Kajian tentang topik di atas menarik untuk didiskusikan mengingat ke tiga istilah tersebut ‘familiar’ bagi kalangan akademisi, penggiat agraria dan perdesaan, serta kaum birokrat; namun sering menimbulkan perbedaan persepsi dan cara penanganan. Tulisan ini menjelaskan pengertian, eksistensi, dan permasalahan sekitar tanah adat, masyarakat adat dan desa adat agar diperoleh pemahaman yang lebih komprehensif dan solusi yang tepat dalam penanganan persoalan terkait.

A.      Tanah Adat.
Berdasarkan penguasaannya maka secara theoretikal tanah adat dibedakan antara tanah adat yang dikuasai oleh kelompok (komunal) yang populer dengan sebutan tanah ulayat; dan tanah adat yang dikuasai oleh individual. Penyebutan atau istilah yang digunakan bagi tanah adat (komunal dan individual) tersebut berbeda-beda pada masing-masing lingkungan hukum adat yang ada dan berlaku. Dalam tulisan ini kajian yang dilakukan hanya terbatas pada tanah adat komunal atau tanah ulayat.
Tanah ulayat dikenal dengan beberapa istilah sesuai dengan penggunaan dan pemanfatannya seperti pertuanan (Ambon – tanah wilayah sebagai kepunyaan, panyampeto (Kalimantan – sebagai tempat yang memberi makan, pewatasan (Kalimantan – sebagai daerah yang dibatasi), wewengkon (Jawa) , prabumian (Bali) atau, sebagai tanah yang terlarang bagi orang lain (totabuan – Bolaang Mongondouw). Akhirnya dijumpai juga istilah-istilah: Torluk (Angkola), limpo (Sulawesi Selatan), muru (Buru), payar (Bali), paer (Lombok) dan ulayat (Minangkabau).[2]
Dalam Surat Pengantar Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2003 tentang Norma dan Standar Mekanisme Ketatalaksanaan Kewenangan Pemerintah Di Bidang Pertanahan Yang Dilaksanakan Oleh Pemerintah Kabupaten dan Kota; diberikan pengertian dari tanah ulayat sebagai berikut: “Tanah ulayat adalah bidang tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu.”
Untuk pengaturan tanah ulayat, oleh otoritas pertanahan (BPN) telah dikeluarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Penggunaan kata ‘hak ulayat’ dalam peraturan ini kiranya kurang tepat mengingat bahwa hak ulayat tidak hanya meliputi tanah namun termasuk juga hutan[3], air[4], dan segala sesuatu yang ada di dalam wilayah yang menjadi wilayah dari masyarakat adat tersebut, sebab di dalam hukum adat tanah tidak saja diartikan sebagai permukaan bumi, tetapi juga udara, air, bahan galian, termasuk roh nenek moyang.[5]
Menurut Pasal 2 ayat (1) Peraturan tersebut, Hak Ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila:
a.             terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama atau persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari;
b.            terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari; dan
c.             terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.
Untuk pengaturan lebih lanjut tentang hak ulayat sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999 maka diterbitkan Surat Edaran Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 400-2626 tanggal 24 Juni 1999. Menurut ketentuan tersebut maka hal-hal yang perlu dilakukan adalah:
1.            penelitian dan pengesahan eksistensi hak ulayat di masing-masing daerah dengan melibatkan pihak yang terkait;
2.            pemetaan wilayah hak ulayat masing-masing;
3.            pengesahan hak ulayat dari masyarakat hukum adat di tiap-tiap daerah oleh masing-masing daerah.
Sampai saat ini terdapat 3 (tiga) kabupaten yang mengatur tentang eksistensi dan perlindungan tanah (hak) ulayat yaitu Kabupaten Kampar Prov. Riau (Peraturan Daerah Kabupaten Kampar No. 12 Tahun 1999 tentang Hak Tanah Ulayat); Kabupaten Lebak Prov. Banten (Peraturan Daerah Kabupaten Lebak No. 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy); dan Kabupaten Nunukan Prov. Kalimantan Timur (Peraturan Daerah Kabupaten Nunukan No. 4 Tahun 2004 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Lundayeh Kabupaten Nunukan).
Beberapa hal seputar pengaturan tanah (hak) ulayat dari ke (3) Perda Kabupaten tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 1.Pengaturan Tanah (Hak) Ulayat di Kab. Kampar, Lebak dan Nunukan
NO
PERIHAL
KAMPAR
LEBAK
NUNUKAN
1.
Istilah
Hak tanah ulayat
Hak ulayat
Hak ulayat
2.
Pengertian
Salah satu harta milik
bersama suatu masyarakat
adat, yang mencakup suatu kesatuan wilayah berupa
lahan pertanahan,tumbuhan yang hidup secara liar dan
binatang yang hidup liar di atasnya
Bidang tanah yang
di atasnya terdapat hak
ulayat dari suatu
masyarakat hukum
adat  tertentu
Bidang tanah yang berada dalam lingkup hak ulayat suatu masyarakat hukum
adat tertentu
3.
Subyek
tidak diatur/tidak jelas
Masyarakat Baduy
Masyarakat Lundayeh (4 masyarakat adat)
4.
Batas-batas
tidak diatur/tidak jelas
Diatur/batas alam
Diatur/batas alam
5.
Pengecualian
Tidak diatur
Telah terdaftar dan/atau
telah diperoleh/
dibebaskan
Telah terdaftar dan/atau telah diperoleh/
dibebaskan
6.
Pengukuran/
pemetaan
Tidak diatur, hanya akan dilakukan inventarisasi
Dilakukan
Dilakukan
7.
Pendaftaran
boleh
Tidak boleh
Tidak boleh
8.
Penyelesaian sengketa
Tidak ada, akan dibentuk Badan Penyelesaian
Permasalahan dan
Pemutihan Tanah Ulayat Daerah
Tidak diatur
diatur
9.
Ketentuan
Pidana
Tidak diatur
diatur
Tidak diatur
Sumber: Dimodifikasi dari Peraturan Daerah tentang Hak Ulayat Kabupaten Kampar, Lebak dan Nunukan.
Dari ke tiga Perda tersebut terlihat bahwa pengaturan hak (tanah) ulayat terdapat beberapa perbedaan. Hal ini tentunya merupakan suatu hal yang wajar mengingat sejarah, budaya dan dinamika masyarakat yang berbeda antara satu kabupaten dengan kabupaten yang lain, namun dalam hal-hal yang bersifat prosedural seperti tata cara pengakuan dan perlindungan terhadap tanah ulayat seyogianya menunjukkan kesamaan.
B.       Masyarakat Adat.
Menurut fakta, kurang lebih 350 juta penduduk di dunia ini adalah masyarakat adat. Sebagian besar hidup di daerah-daerah terpencil dan merupakan masyarakat yang termarjinalkan.[6] Mereka terdiri dari ± 5.000 masyarakat adat yang menyebar mulai dari masyarakat hutan (forest peoples) di Amazon, hingga masyarakat suku (tribal peoples) di India dan merentang dari suku Inuit di Arktika, hingga masyarakat Aborigin di Australia. Pada umumnya, mereka menduduki dan mendiami wilayah yang sangat kaya mineral dan sumber daya alam lainnya.[7] Bahkan menurut The World Conservation Union, dari sekitar 6.000 kebudayaan di dunia, 4.000-5.000 diantaranya adalah masyarakat adat, berarti sekitar 80 persen dari semua masyarakat budaya di dunia[8].
Menurut data di Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, terdapat 20.000 kelompok masyarakat adat di Indonesia. Dari jumlah tersebut, yang baru terdata oleh KOMNAS HAM sebanyak 6.300 kelompok di wilayah Aceh, 700 kelompok di wilayah Sumatera dan 1.000 kelompok di wilayah Bali.[9] Sementara itu menurut catatan AMAN, dengan menggunakan kriteria masyarakat adat maka terdapat sekitar 50 - 70 juta penduduk di Indonesia yang dapat dikategorikan sebagai masyarakat adat.[10]
Pada hakekatnya keberadaan masyarakat adat diakui The Founding Fathers dalam menyusun UUD 1945. Dalam Rapat Besar Tanggal 15 Juli 1945, Supomo mengemukakan bahwa terdapat daerah-daerah kecil yang mempunyai susunan aseli, yaitu Volksgemeinschafen, yaitu daerah-daerah kecil yang mempunyai susunan rakyat seperti misalnya Jawa: desa, di Minangkabau: nagari, di Pelembang: dusun, dan daerah kecil yang dinamakan marga, di Tapanuli: huta, di Aceh: kampong. Selain itu terdapat juga daerah istimewa – daerah kerajaan (zelfbestuurende landschappen), yang harus dihormati dalam bentuk susunannya yang aseli.[11] Pasca kemerdekaan, upaya-upaya yang mendukung masyarakat adat beserta hak-haknya tidaklah merupakan sesuatu yang populer sehubungan dengan adanya pola perjuangan yang bercorak ‘kelas’, dan upaya tersebut dapat dilihat sebagai dukungan pada kolonial Belanda mengingat banyaknya peminpin adat yang ‘memihak’ dan memperoleh fasilitas dari Pemerintah Kolonial Belanda.[12]
Di Indonesia, kata masyarakat adat merupakan terjemahan dari kata bahasa Inggeris “indigenous people”.[13] Indigenous people diartikan juga sebagai masyarakat asli atau penduduk asli. Tetapi istilah masyarakat asli atau penduduk asli jarang dipakai dalam konteks ”masyarakat adat” karena terlalu umum dan kurang tepat untuk menggambarkan keadaan sesungguhnya dari masyarakat adat. Istilah masyarakat adat lebih tepat memberikan gambaran tentang keberadaan mereka dalam segala aspek kehidupan mereka, baik agama, hukum, politik, ekonomi, sosial maupun budaya.[14] Pengertian ini sesuai dengan hasil Kongres Masyarakat Adat Nusantara I di Jakarta pada tanggal 17 s/d 22 Maret 1999 yang menyatakan bahwa: masyarakat adat ialah kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur (secara turun temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri.
Selain istilah di atas, indegenous people juga diterjemahkan sebagai masyarakat hukum adat,[15] komunitas adat terpencil atau masyarakat terasing, masyarakat tradisional, masyarakat lokal dsb. Di dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999 tentang tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat disebutkan bahwa masyarakat hukum adat ialah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena persamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan. Masyarakat Terasing atau Komunitas Adat Terpencil menurut Keputusan Presiden No.111 Tahun 1999 tentang Pembinaan Kesejahteraan Sosial Komunitas Adat Terpencil; adalah kelompok sosial budaya yang bersifat lokal dan terpencar serta kurang atau belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan baik sosial, ekonomi maupun politik. Selain masyarakat adat, beberapa istilah lain yang digunakan untuk menyebut masyarakat adat adalah masyarakat hukum (Hazairin), persekutuan hukum (Djojodiguno).
Penulis lebih sependapat menggunakan istilah masyarakat adat. Pendapat ini sejalan dengan kalangan aktivis Ornop dan organisasi masyarakat adat semacam Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang memandang istilah `masyarakat hukum adat' mempersempit entitas masyarakat adat sebatas entitas hukum. Sementara istilah masyarakat adat dipercaya memiliki dimensi yang luas dari sekedar hukum. Misalnya dimensi kultural dan religi. Jadi, istilah masyarakat adat dan istilah masyarakat hukum adat memiliki sejarah dan pemaknaan yang berbeda. Istilah masyarakat hukum adat dilahirkan dan dirawat oleh pakar hukum adat yang lebih banyak difungsikan untuk keperluan teoretik-akademis. Istilah tersebut digunakan untuk memberi identitas kepada golongan pribumi yang memiliki sistem dan tradisi hukum sendiri untuk membedakannya dengan golongan Eropa dan Timur Jauh yang memiliki sistem dan tradisi hukum tertulis.[16] Emil Ola Kleden[17] mengatakan bahwa masyarakat hukum adat diciptakan dan didorong dalam kebijakan pemerintah kolonial Belanda untuk memetakan secara sosial politik keberadaan sekaligus membedakan perlakuan hukum kepada kelompok rechtsgemeenschap dengan masyarakat Eropah dan Timur Asing.
Pengakuan terhadap keberadaan masyarakat adat mengalami pasang surut, baik pada tataran lokal, nasional dan internasional. Pengakuan terkini menunjukkan bahwa perubahan terjadi sejak Amandemen UUD 1945. Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945, dan beberapa undang-undang yang mengatur tentang sumber daya agraria memberikan pengakuan secara tegas terhadap eksistensi masyarakat adat, meskipun oleh sebagian kalangan ‘dipersoalkan’ karena pengakuan tersebut dianggap merupakan pengakuan yang bersyarat. 
Untuk mengetahui ada tidaknya masyarakat adat, H.M. Koesnoe menyatakan dapat dijawab dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:[18]
a.    apakah dalam territoir yang bersangkutan ada kelompok yang merupakan suatu kesatuan yang terorganisir?
b.     sebagai kelompok yang demikian apakah organisasinya itu diurus oleh pengurus yang ditaati oleh para anggotanya?
c.    Sejak kapankah kelompok itu ada di dalam lingkungan tanah yang bersangkutan (jelas sudah berapa generasi)?
d.   Apakah kelompok itu mengikuti suatu tradisi yang homogen dalam kehidupannya, sehingga kelompok itu dapat dikatakan sebagai satu persekutuan hukum?
e.         Bagaimana menurut tradisinya asal-usul kelompok itu sehingga merupakan suatu kesatuan dalam lingkungan tanahnya?
 Ter Haar[19] memberikan 4 (empat) kriteria tentang adanya suatu masyarakat adat, yaitu:
a.         terdapat sekelompok orang;
b.         yang tunduk pada suatu keteraturan atau tata tertib;
c.         mempunyai pemerintahan sendiri; dan
d.        mempunyai harta kekayaan sendiri baik yang berupa materiil maupun immateriil.
Selain itu, Ombo Sutya Pradja [20] menambahkan unsur kelima yaitu adanya hukum yang ditaati atau dipatuhi dalam masyarakat adat itu. Masyarakat adat dimaksud dapat berupa suatu suku (stam), atau oleh sebuah gabungan desa (dorpendbond), atau biasanya sebuah desa saja (tetapi tidak pernah dipunyai oleh seorang individu).[21]
Masyarakat adat dapat dibagi ke dalam 3 model, yaitu: genealogis (patrilineal, matrilineal, bilateral atau parenatal, dan bilineal); teritorial (wilayah) seperti desa (dorpsgemeenschaap), daerah (streekgemeenschaap), perserikatan desa (dorppendbond); dan genealogis-teritorial.[22] Secara garis besar, entitas masyarakat adat tersebut dapat dikelompokkan ke dalam 4 tipologi: Pertama, adalah kelompok masyarakat lokal yang masih kukuh berpegang pada prinsip “pertapa bumi” dengan sama sekali tidak mengubah cara hidup seperti adat bertani, berpakaian, pola konsumsi, dan lain-lainnya. Bahkan mereka tetap eksis dengan tidak berhubungan dengan pihak luar, dan mereka memilih menjaga kelestarian sumber daya alam dan lingkungannya dengan kearifan tradisonal mereka. Entitas kelompok pertama ini, bisa dijumpai seperti komunitas To Kajang  (Kajang Dalam) di Bulukumba, dan Kanekes di Banten. Kedua, adalah kelompok masyarakat lokal yang masih ketat dalam memelihara dan menerapkan adat istiadat, tapi masih membuka ruang yang cukup bagi adanya hubungan “komersil” dengan pihak luar, kelompok seperti ini bisa dijumpai, umpamanya pada komunitas Kasepuhan Banten Kidul  dan Suku Naga, kedua-duanya berada di Jawa Barat. Ketiga, entitas masyarakat adat yang hidup tergantung dari alam (hutan, sungai, gunung, laut, dan lain-lain), dan mengembangkan sistem pengelolaan sumberdaya alam yang unik, tetapi tidak mengembangkan adat yang ketat untuk perumahan maupun pemilihan jenis tanaman jika dibandingkan dengan masyarakat pada kelompok pertama dan kedua tadi. Komunitas masyarakat adat yang tergolong dalam tipologi ini, antara lain Dayak Penan di Kalimantan, Pakava dan Lindu di Sulawesi Tengah, Dani dan Deponsoro di Papua Barat, Krui di Lampung, dan Haruku di Maluku. Keempat, entitas masyarakat adat yang sudah tercerabut dari tatanan pengelolaan sumberdaya alam yang “asli” sebagai akibat dari penjajahan yang  telah berkembang ratusan tahun. Masuk dalam kategori ini adalah Melayu Deli di Sumatera Utara dan Betawi di Jabotabek.[23]
Beberapa peraturan/keputusan daerah yang mengatur eksistensi, pengakuan dan perlindungan masyarakat adat adalah:
             1.     Masyarakat Adat Baduy (Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy).
             2.     Masyarakat Adat Lundayeh (Peraturan Daerah Kabupaten Nunukan Nomor 4 Tahun 2004 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Lundayeh Kabupaten Nunukan).
             3.     Masyarakat Adat Seko (Keputusan Bupati Luwu Utara Nomor 300 Tahun 2004 tentang Pengakuan Keberadaan Masyarakat Adat Seko).
             4.     Masyarakat Adat Toraya (Keputusan Bupati Tana Toraja Nomor 222/III/2005 tentang Pengakuan Keberadaan Masyarakat Adat Toraya).
Kedua peraturan daerah di atas (Lebak dan Nunukan) mengatur secara sekaligus tentang obyek (tanah ulayat) dan masyarakat adatnya, namun Perda Kabupaten Kampar tidak mengatur hal tersebut. Berdasarkan hasil penelitian Julius Sembiring dkk.[24] belum adanya kesepahaman tentang jumlah masyarakat adat di Kabupaten Kampar, mengingat bahwa berdasarkan hasil inventarisasi yang dilakukan Kabupaten Kampar pada tahun 2003, ditemukan adanya pemekaran kenegerian[25] oleh para ninik mamak.[26] Di Kabupaten Luwu Utara, berdasarkan Keputusan Bupati tersebut diakui adanya 9 (sembilan) masyarakat adat Seko, sementara di Kabupaten Tana Toraja terdapat 32 (tiga puluh dua) masyarakat adat Toraya.[27]
Mengenai eksistensi masyarakat adat, kiranya hanya masyarakat adat yang berada di Kabupaten Nunukan yang legalitasnya dapat dipertanggungjawabkan, karena Perda Kabupaten Nunukan Nomor 4 Tahun 2004 diterbitkan setelah dilakukan penelitian sebagaimana dipersyaratkan. Selebihnya, eksistensi itu diakui berdasarkan de facto (Masyarakat Baduy) dan pengakuan-pengakuan oleh masyarakat setempat (Kampar, Luwu Utara dan Toraja). Adanya undang-undang tentang Perlindungan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat yang telah digodok oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI diharapkan dapat mengakomodir pengakuan dan perlindungan terhadap eksistensi masyarakat adat.

C.      Desa Adat
Apakah desa adat masih ada? Selain itu, apakah dalam 1 (satu) desa adat terdapat 1 (satu) satu masyarakat adat? Hal ini penting dikemukakan mengingat saat ini adanya klaim tentang eksistensi desa adat, serta untuk mengetahui tentang eksistensi masyarakat adat dan haknya atas tanah ulayat. Lebih lanjut juga dapat dikemukakan bahwa berdasarkan pemahaman tentang hal-hal tersebut akan dapat menentukan jumlah masyarakat adat dan tanah ulayatnya yang ada dalam satu desa adat.
Analisa terhadap desa adat dapat dilakukan dengan 3 pendekatan, yaitu:
  1. Pendekatan teritori.
a.         Ada desa adat yang wilayahnya utuh melingkupi 1 desa formal, contoh: Desa Kanekes di Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak (masyarakat Baduy), lembang di Kab. Tana Toraja, dan desa pakraman di Bali.
b.         Ada desa adat yang wilayahnya merupakan bagian dari desa formal, contoh: Desa Pakraman di Bali.
c.         Ada desa adat yang wilayahnya melingkupi beberapa desa formal, contoh: Masyarakat Adat Kasepuhan (10) meliputi 141 desa, 4 kecamatan dan 3 kabupaten; banua dari suku Dayak; nagari di Sumatera Barat, dan desa pakraman di Bali.
  1. Pendekatan status hukum.
a.         Desa-desa di Jawa merupakan desa yang mempunyai status hukum sebagai badan hukum publik; sementara desa-desa di luar Jawa tidak sebagai badan hukum.[28]
b.         UU Mahkamah Konstitusi telah memberikan legal standing kepada masyarakat adat (Pasal 51 ayat (1) butir b UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
  1. Pendekatan kewenangan
a.         Kewenangan apakah yang dimiliki oleh kepala adat dalam melakukan pelayanan publik?
b.         Apakah dilakukan pembagian kewenangan antara kepala adat dengan kepala desa formal?
c.         Apakah kepala adat secara struktural merupakan bagian dari kepala desa formal?
d.        Bagaimanakah hubungan antara kepala adat dengan kepala desa formal?
Di dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah – dan juga PP Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, yang dimaksud dengan desa adalah: adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Sementara itu, pengertian desa menurut RUU tentang Desa yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI adalah: bagian wilayah kecamatan dengan batas-batas yurisdiksi tertentu, bersama masyarakat yang berdiam di dalamnya, yang membentuk kesatuan masyarakat hukum untuk mengatur dan mengurus kepentingan sendiri, berdasarkan asal-usul/adat-istiadat dan/atau prakarsa sendiri, dan diakui Pemerintah sebagai desa”.
UU dan PP tersebut di atas tidak menegaskan perbedaan antara desa adat dengan desa formal, dan juga tidak memberikan penjelasan apa itu desa adat. Eksistensi desa adat secara juridis-formal ditemukan dalam peraturan daerah di Provinsi Sumatera Barat (Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2000 tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari, diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2007 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari)[29], dan di Provinsi Bali (Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman, diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2003 tentang Perubahan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001). Perbedaan dari eksistensi desa adat di ke dua Provinsi tersebut adalah bahwa di Sumatera Barat desa formal tidak ada lagi, sementara di Bali desa formal tetap ada di samping desa adat, dengan teritori, struktur pemerintahan dan kewenangan yang berbeda.
Di Sumatera Barat (Minangkabau), desa adat disebut dengan nagari. Nagari adalah “negara” yang berpemerintahan sendiri, merupakan satu kesatuan masyarakat hukum adat, lengkap dengan kaidah/norma yang mengatur masyarakat dan umurnya sudah tua.[30] Mhd. Nasrun menyebut bahwa desa atau nagari di Minangkabau mempunyai rechtbewustheid, mereka merasa satu, sehina semalu, mempunyai kepentingan bersama yang nyata seperti mesjid, balai adat, punya hak atas tanah dan sebagainya. Suatu masyarakat hukum adat (nagari di Minangkabau) harus memiliki kriteria: mempunyai wilayah dan batas-batas tertentu, berhak mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri, berhak memilih kepala nagarinya, mempunyai harta benda dan sumber-sumber keuangan sendiri dan berhak atas tanah.[31]
Sejak bergulirnya otonomi daerah (UU No. 22 Tahun 1999), maka UU tersebut  menyatakan tidak berlakunya UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, yang telah melakukan penyeragaman terhadap seluruh pemerintahan Desa (atau nama apapun lainnya) serta menempatkan Desa di bawah Camat. Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1979 tersebut maka di Sumatera Barat telah dikeluarkan Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Barat No.13 Tahun 1983 tentang Nagari Sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dalam Propinsi Sumatera Barat dan SK. Gubernur Sumatera Barat No.162/GSB/1983. SK ini menetapkan Jorong (bagian dari wilayah kerja nagari) sebagai unit pemerintahan terendah, dengan kata lain keberadaan jorong diubah menjadi desa. Sebagai konsekuensinya maka sebanyak 543 nagari di Sumatera Barat dilebur menjadi 3.133 desa dan 406 kelurahan. Salah satu alasan untuk memperbanyak jumlah desa dan kelurahan (dari sejumlah nagari tersebut) adalah untuk mengharapkan bantuan Dana Inpres sebesar Rp.20 juta per desa per tahun.
Di Bali, dikenal dua pengertian desa yaitu desa atau kelurahan (disebut juga desa dinas); dan desa adat (desa pakraman).[32] Menurut R. Goris[33] desa adat pada zaman Bali Kuno disebut dengan banwa atau banua. Sebelum tahun 1908, desa mempunyai pengertian sebagai masyarakat adat, dan ketika pada tahun tersebut Pemerintah Kolonial Belanda membentuk desa dinas, maka untuk membedakannya dengan desa pakraman masyarakat adat itu disebut dengan desa pakraman.[34]
Pasal 1 huruf e Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 1986 tentang Kedudukan, Fungsi dan Peranan Desa Adat sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Propinsi Daerah Tingkat I Bali dikatakan: “desa adat sebagai desa dresta adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi Daerah Tingkat I Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga[35] (Kahyangan Desa) yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri”.
Perda Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 1986 tersebut dicabut dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman; dan berdasarkan Perda yang baru ini sebutan desa adat diganti menjadi desa pakraman. Menurut Perda  tersebut, “desa pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun-temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri”.
Desa adat mempunyai hak untuk mengurus rumah tangganya sendiri, ini artinya desa adat mempunyai otonomi. Hak dari desa adat mengurus rumah tangganya bersumber dari hukum adat, tidak berasal dari kekuasaan pemerintahan yang lebih tinggi, sehingga isi dari otonomi desa adat seakan-akan tidak terbatas. Secara garis besar otonomi desa adat mencakup:[36]
           1.       membuat aturan sendiri (dalam hal ini awig-awig[37]);
           2.       melaksanakan sendiri peraturan yang dibuat (melalui prajuru);
           3.       mengadili dan menyelesaikan sendiri (dalam lembaga Kertha Desa);
           4.       melakukan pengamanan sendiri (melalui pekemitan, pegebagan, dan pecalangan).
Desa adat diikat oleh hukum adat (awig-awig) dan juga tradisi dan tata krama[38]. Dalam desa adat, kahyangan tiga menempati posisi hulu atau kepala, sehingga bagi desa adat kahyangan inilah pemberi inspirasi, kekuatan dan tempat memohon keselamatan untuk warga desa seluruhnya.[39] Desa adat dibatasi oleh wilayah tertentu, dimana menurut hukum adat disebut “Prabhumian Desa” atau “Wewengkon Bale Agung”. Wilayah desa adat ini sepenuhnya dapat diatur dan diurus oleh perangkat pimpinan desa adat berdasarkan hak pengurusan wilayah yang lebih dikenal dengan sebutan hak ulayat desa adat.[40]
Sebuah desa adat ada yang hanya terdiri dari satu banjar[41] adat, ada pula yang terdiri dari beberapa banjar adat. Jika warga dalam satu banjar lumayan banyak dan wilayahnya (wewidangan/wewengkon) relatif luas, maka untuk kepentingan praktis, banjar itu akan dibagi menjadi beberapa kelompok yang dinamakan tempekan. Pemberian nama tempekan biasanya disesuaikan dengan keadaan tempekan yang dimaksud. Contohnya, yang berada di wilayah bagian utara, akan disebut Tempekan Kaja, yang di selatan disebut Tempekan Kelod, dst. Adakalanya juga tempekan ini diberi nama yang sesuai dengan keadaan warganya, seperti Tempekan Gusti, Tempekan Pande, dll.[42]
Di Maluku Utara, desa adat dikenal dengan nama soa. Soa ini mempunyai keotonoman, dan sejarah perkembangannya secara jelas dibedakan dalam periode pra-kesultanan dan pasca-kesultanan. Terdapat 41 (empatpuluh satu) soa[43] yaitu Soa Sio (9), Sangaji (9), Heku (12), Cim (11). Ke empat kelompok ini disebut dengan Gam Raha atau Empat Kekuatan Besar yang merupakan kekuasaan tertinggi dalam struktur pemerintahan Kesultanan Ternate.[44] Menurut Abdul Hamid Hasan, pada kelompok Cim juga terdapat 12 (dua belas) Soa, sehingga jumlah yang berpasang-pasangan tersebut saling topang menopang dalam mengendalikan kekuasaan kerajaan. Namun ada satu soa atau marga yang tidak tercatat kedudukannya di kerajaan karena memperoleh tugas-tugas lain, yaitu Soa Tongole.[45]
Keotonomian soa, mengalami perubahan seiring dengan munculnya Kesultanan Ternate. Perubahan tersebut berimplikasi pada perubahan status desa adat (soa) di bawah bayang-bayang kekuasaan Kesultanan Ternate.[46] Contoh perubahan dimaksud  adalah hak ulayat soa yang disebut dengan aha soa.  Aha soa adalah tanah-tanah yang dikuasai oleh sesuatu soa, namun aha soa tersebut diberikan oleh Sultan, karena dalam sistem penguasaan tanah Kesultanan Ternate seluruh tanah merupakan tanah Sultan yang disebut dengan aha kolano.[47]

D.      Masalah Tanah Adat, Masyarakat Adat dan Desa Adat
Persoalan fundamental dari masalah di atas adalah, pertama, pengakuan atau legalitas atas masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya, termasuk di dalamnya hak atas tanah ulayat.   Sejauh ini, pengaturan tanah ulayat dari suatu masyarakat adat tergantung dari ‘selera’ kabupaten yang bersangkutan, dan tidak menutup kemungkinan bahwa pengaturan itu dikaitkan dengan aroma politik untuk menjaring suara dalam pilkada.  Selain itu, pengaturan oleh kabupaten tersebut tidak ditindaklanjuti sehingga terkesan ‘terbengkalai’. Di beberapa daerah (Papua, Sumatera Barat, Kabupaten Pasir di Kalimantan Timur), pengaturan hak (tanah) ulayat menjadi terkatung-katung karena belum adanya kesepahaman.
Di Filipina, keberadaan masyarakat adat diakui dalam Republic Act No. 8371 yang dikenal dengan nama the Indegenous Peoples Rights Act (IPRA) of 1997. Di dalam Section 3 h disebutkan kriteria dari masyarakat adat, sedangkan berkenaan dengan kelembagaan dan pranatanya dimuat dalam Section 3 i.[48] Di Indonesia, undang-undang tersebut masih berupa rancangan yang diusung oleh Dewan Perwakilan Daerah RI masa bakti 2004-2009.
Kedua, adalah suatu kenyataan yang menjadi kerisauan banyak kalangan akan punahnya tanah ulayat. Perubahan struktur ekonomi dari agraris pedesaan dan tradisional-informal ke ekonomi industri, uang dan pasar, dan formal bahkan global multi-nasional, maka pemilikan tanah bergeser secara relatif drastis, dari komunal ke individual dan ke korporasi.[49] Tidak di Sumatera Barat, namun juga terjadi di daerah-daerah lain, masa depan tanah ulayat menuju kepunahan. Dan proses kepunahan itu berjalan makin cepat dengan makin gencarnya gerak pembangunan itu sendiri. Pembangunan yang kita gerakkan sekarang ini kebetulan tidaklah diarahkan untuk menjamin pelestarian dari tanah-tanah ulayat, tetapi justru sebaliknya, yaitu mengalihkannya menjadi tanah-tanah pribadi, orang per orang ataupun perusahaan. Kleim bahwa tanah ulayat harus memiliki nilai ekonomi, dan karenanya harus turun menjadi hak milik pribadi ataupun perusahaan melalui pensertifikatan, adalah vonis bagi kematian tanah-tanah ulayat.[50] Otoritas pertanahan sendiri, kelihatannya turut berkontribusi dalam melakukan proses peralihan tanah komunal (ulayat) melalui konversi hak atas tanah.[51]
Di Filipina, berdasarkan IPRA, karena  konsep pemilikan ancestral domain sebagai private but community property, yang merupakan kepunyaan seluruh generasi, maka ia tidak dapat dijual, dikuasai atau dihapuskan (Section 5).[52]  Di Australia, upaya melindungi hak-hak penduduk pribumi Australia yang sudah ada sebelum kolonisasi Inggris oleh Pemerintah Federal ditetapkan Native Title Act 1993 (Cth). Kemudian, kebijakan tersebut diikuti oleh Pemerintah Negara Bagian New South Wales dengan menetapkan Native Title Act 1994 (NSW).
Eksistensi desa adat secara umum masih diperdebatkan, dengan beberapa pengecualian seperti di Sumatera Barat dan Bali yang pengaturannya terlihat jelas dalam menentukan eksistensi dari desa adat itu sendiri, kaitannya dengan masyarakat adat dan tanah ulayat.
Adalah suatu harapan, bahwa konsep pembangunan yang pro-poor dapat direalisasikan dalam penyelesaian masalah-masalah tanah ulayat, masyarakat adat dan desa adat tersebut. BPN – sebagai garda terdepan otoritas yang mempunyai kewenangan di bidang pertanahan – dengan 4 (empat) prinsipnya (peningkatan kesejahteraan, keadilan, kesinambungan, dan harmoni) diharapkan mampu mendukung dan mengusung penyelesaian dimaksud.  

 DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hamid Hasan, 1998, “Falsafah Adat Ternate” dalam Aroma Sejarah dan Budaya Ternate (Himpunan Makalah Abdul Hamid Hasan), Ternate, tanpa penerbit.
Anonim, 1981, Sistem Kesatuan Hidup Setempat Daerah Bali, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Daerah Bali Tahun 1980/1981.
Anonim, 1995, ‘Sambutan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali Pada Seminar Masalah Eksistensi Tanah Pekarangan Desa dan Tanah Ayahan Desa’ dalam Seminar  Tanah Pekarangan Desa dan Tanah Ayahan Desa Ditinjau Dari Aspek Agama Hindu, Aspek Lembaga Desa (Desa Adat) dan Aspek Hukum Adat Bali, pada tanggal 1 Nopember 1995 di Bali.
Anonim, 2001, Masyarakat Adat Di Dunia. Eksistensi dan Perjuangannya. International Work Group for Indigenous Affairs – Institut Dayakologi. Pontianak.
Ary Wahyono dkk, 2000, Hak Ulayat Laut Di Kawasan Timur Indonesia, Media Presindo, Yogyakarta.
Azmi Siradjudin AR, Pengakuan Masyarakat Adat Dalam Instrumen Hukum Nasional dalam  http://www.ymp.or.id/content/view/107/35/, diunduh pada tgl.6 Juli 2009 jam 13.47.
Boedi Harsono, 1997, Hukum Agraria Indonesia. Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jilid I Hukum Tanah Nasional. Jakarta: Djambatan, hal.180.
Emil Ola Kleden, 2007, ‘Evolusi Perjuangan Gagasan “Indegenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional’, makalah dalam Advanced Training Hak Hak Masyarakat Adat (Indegenous Peoples’ Rights) Bagi Dosen Pengajar HAM Di Indonesia. Kerjasama Pusat Studi Hak Asasi Manusia – UII dengan Norsk Senter for Menneskerettigheter, Norwegian Centre for Human Rights, Yogyakarta, tanggal 21-24 Agustus 2007.
Herman Soesangobeng, The Possibility and Mode of Registering Adat Title on Adat Land, Paper for 3rd FIG Regional Confrence in Jakarta, 3-7/10/2004.
Hi Mudaffar Sjah, “Sejarah Hukum Adat dan Lingkungan Hukum Adat Ternate”  dalam Sukardi Syamsudin (Adi) dan Basir Awal (Editor), 2005, Moloku Kie Raha. Dalam Perspektif Budaya dan Sejarah Masuknya Islam, Himpunan Pelajar Mahasiswa Ternate.
H. Masyhud Ashari, 2008, Status Tanah-Tanah Kesultanan Ternate Di Provinsi Maluku Utara (Tinjauan Juridis Hukum Tanah Nasional). Laporan Penelitian, DPPM UII – Fakultas Hukum UII Yogyakarta.
H.M. Koesnoe, 2000, Prinsip-Prinsip Hukum Adat tentang Tanah, Surabaya, Ubaya Press.
I Made Suasthawa Dharmayuda, 2001, Desa Adat. Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Propinsi Bali, Denpasar: Upada Sastra.
Julius Sembiring, dkk. 2005, Eksistensi Tanah Adat Tongkonan di Kabupaten Tana Toraja Provinsi Sulawesi Selatan, Laporan Hasil Penelitian, STPN Yogyakarta.
----------------------------, 2008, Pengaturan Hak Ulayat di Kabupaten Kampar. Suatu Tinjauan terhadap Eksistensi Peraturan Daerah Kabupaten Kampar Nomor 12 Tahun 1999 tentang Hak Tanah Ulayat, Laporan Penelitian, STPN Yogyakarta.
Julius Sembiring, 2009, 1000 Peribahasa Daerah tentang Tanah/Pertanahan di Indonesia, Yogyakarta, STPN Press.
Kurnia Warman, 2006, Ganggam Bauntuak Menjadi Hak Milik. Penyimpangan Konversi Hak Tanah di Sumatera Barat, Padang, Andalas University Press.
Maria S.W. Sumardjono, 2008, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Jakarta, Penerbit Buku Kompas.
Mochtar Naim, 1991, ‘Problema dan Prospek Tanah Ulayat di Sumatera Barat’, Makalah pada Seminar Tanah Ulayat, disampaikan dalam Konferensi Tahunan Forum Regional LSM Sumatera Barat, 28 Juni 1991 di Padang.
Mohammad Yamin, 1959, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jilid Pertama, Jakarta, Yayasan Prapanca.
Ombo Sutya Pradja, ‘Hutan dan Masyarakat Adat’ dalam Sandra Kartika dan Candra Gautama (Penyunting), Menggugat Posisi Masyarakat Adat Terhadap Negara, 1999, Prosiding Sarasehan Masyarakat Adat Nusantara, Jakarta, 15-16 Maret 1999. Diterbitkan atas Kerja Sama Panitia Bersama Sarasehan dan Kongres Masyarakat Adat Nusantara 1999 dengan Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP).
Rafael Edy Bosko, 2006, Hak-Hak Masyarakat Adat Dalam Konteks Pengelolaan Sumber Daya Alam, ELSAM, Jakarta.
Rikardo Simarmata, 2006, Pengakuan Hukum Terhadap Masyarakat Adat Di Indonesia. Jakarta, UNDP.
------------------------------, Menyongsong Berakhirnya Abad Masyarakat Adat: Resistensi Pengakuan Bersyarat.
Roem Topatimasang, 2004, “Orang Tobelo. Tercerabut & Tersisih Di Tanah Sendiri” dalam Roem Topatimasang (Penyunting), Orang-Orang Kalah. Yogyakarta, INSISTPress.
Sjahmunir “Pemerintahan Nagari dan Desa Serta Perkembangannya di Sumatera Barat” dalam Alfan Miko, 2006, Pemerintahan Nagari dan Tanah Ulayat, Padang, Andalas University Press.
Soekanto, 1981, Meninjau Hukum Adat Indonesia. Suatu Pengantar Untuk Mempelajari Hukum Adat. Disusun kembali oleh Soerjono Soekanto, Jakarta: P.T. Raja Grafindo Persada.
Soerjono Soekanto dan Soleman b. Taneko, 1986, Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Rajawali.
Suraya Afiff and Celia Luwe, 2007, ‘Claiming Indegeneous Community: Political Discourse and National Resource Rights in Indonesia’ in Alternatives, 32, page 89.
ter Haar, 1981, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita
van Vollenhoven, Orang Indonesia dan Tanahnya (diterjemahkan oleh Drs. R. Soewargono, M.A), 1975, Pusat Pendidikan Departemen Dalam Negeri.
Wayan P. Windia, 2008, Menyoal Awig-Awig. Eksistensi Hukum Adat dan Desa di Bali, Denpasar, Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana.

-            IWGIA, 2008, “Indigenous Issues”, diakses pada tanggal 27 November 2008 dari http://www.iwgia.org/sw153.asp
-            “Berdayakan Masyarakat Hukum Adat untuk Perlindungan Lingkungan”. Temp/HOCVP07L.htm
-            http://dte.gn.apc.org/AMAN/english/eng.html. diakses pada tanggal 14 January 2006.
jurnalilmiah@rocketmail.com, umranrindo@yahoo.com



[1] Julius Sembiring, S.H., MPA. Dosen Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) Yogyakarta.
[2] Boedi Harsono, 1997, Hukum Agraria Indonesia. Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jilid I Hukum Tanah Nasional. Jakarta: Djambatan, hal.180.
[3] UU Kehutanan mengakui eksistensi hutan adat meskipun kewenangan penguasaannya berbeda dalam 2 UU yang ada. Lihat UU Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, dan UU Nomor 49 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
[4] Lihat Ary Wahyono dkk, 2000, Hak Ulayat Laut Di Kawasan Timur Indonesia, Media Presindo, Yogyakarta.
[5] Lihat Herman Soesangobeng, The Possibility and Mode of Registering Adat Title on Adat Land, Paper for 3rd FIG Regional Confrence in Jakarta, 3-7/10/2004, hlm. 6.
[6] Rafael Edy Bosko, 2006, Hak-Hak Masyarakat Adat Dalam Konteks Pengelolaan Sumber Daya Alam, ELSAM, Jakarta, hlm.ix.
[7] Lihat IWGIA, 2008, “Indigenous Issues”, diakses pada tanggal 27 November 2008 dari http://www.iwgia.org/sw153.asp
[8] Rafael Edy Bosko, 2006, op.cit. hlm.2.
[9] “Berdayakan Masyarakat Hukum Adat untuk Perlindungan Lingkungan”. Temp/HOCVP07L.htm
[10] http://dte.gn.apc.org/AMAN/english/eng.html. diakses pada tanggal 14 January 2006.
[11]  Mohammad Yamin, 1959, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jilid Pertama, Yayasan Prapanca, Jakarta, hlm. 310.
[12] Suraya Afiff and Celia Luwe, 2007, ‘Claiming Indegeneous Community: Political Discourse and National Resource Rights in Indonesia’ in Alternatives, 32, page 89.
[13] Pengertian indegenous peoples menurut Konvensi ILO Nomor 169 Tahun 1989 adalah: peoples in independent countries who regarded as indigenous on account of their descent from the populations which inhabited the country, or a geographical regions to which the country belongs, at the time of conquest or colonisations or the establishment of present state boundaries and who, irrespective of their legal status, retain some or all of their own social, economic, cultural and political institutions.
[14] Anonim, 2001, Masyarakat Adat Di Dunia. Eksistensi dan Perjuangannya. International Work Group for Indigenous Affairs – Institut Dayakologi. Pontianak, hal.23.
[15] Diterjemahkan dari kata rechtsgemeenschap, yang dikemukakan oleh van Vollenhoven dan ter Haar.
[16] Rikardo Simarmata, Menyongsong Berakhirnya Abad Masyarakat Adat: Resistensi Pengakuan Bersyarat.
[17] Emil Ola Kleden, 2007, ‘Evolusi Perjuangan Gagasan “Indegenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional’, makalah dalam Advanced Training Hak Hak Masyarakat Adat (Indegenous Peoples’ Rights) Bagi Dosen Pengajar HAM Di Indonesia. Kerjasama Pusat Studi Hak Asasi Manusia – UII dengan Norsk Senter for Menneskerettigheter, Norwegian Centre for Human Rights, Yogyakarta, tanggal 21-24 Agustus 2007, hal.12.
[18] H.M. Koesnoe, 2000, Prinsip-Prinsip Hukum Adat tentang Tanah, Surabaya, Ubaya Press, hal.34.
[19] ter Haar, 1981, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita, hal.28.
[20] Ombo Sutya Pradja, ‘Hutan dan Masyarakat Adat’ dalam Sandra Kartika dan Candra Gautama (Penyunting), Menggugat Posisi Masyarakat Adat Terhadap Negara, 1999, Prosiding Sarasehan Masyarakat Adat Nusantara, Jakarta, 15-16 Maret 1999. Diterbitkan atas Kerja Sama Panitia Bersama Sarasehan dan Kongres Masyarakat Adat Nusantara 1999 dengan Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), hal.125.
[21] van Vollenhoven, Orang Indonesia dan Tanahnya (diterjemahkan oleh Drs. R. Soewargono, M.A), 1975, Pusat Pendidikan Departemen Dalam Negeri, hlm. 13.
[22] Soekanto, 1981, Meninjau Hukum Adat Indonesia. Suatu Pengantar Untuk Mempelajari Hukum Adat. Disusun kembali oleh Soerjono Soekanto, Jakarta: P.T. Raja Grafindo Persada, hal.68.
[23] Azmi Siradjudin AR, Pengakuan Masyarakat Adat Dalam Instrumen Hukum Nasional dalam  http://www.ymp.or.id/content/view/107/35/, diunduh pada tgl.6 Juli 2009 jam 13.47.
[24] Julius Sembiring dkk, 2008, Pengaturan Hak Ulayat di Kabupaten Kampar. Suatu Tinjauan terhadap Eksistensi Peraturan Daerah Kabupaten Kampar Nomor 12 Tahun 1999 tentang Hak Tanah Ulayat, Laporan Penelitian, STPN Yogyakarta.
[25] Kenegerian adalah istilah yang digunakan untuk satu wilayah masyarakat adat, di Sumatera Barat disebut dengan nagari.
[26] Ninik mamak adalah pengetua kenegerian/nagari yang terdiri dari para mamak, sebagai pemimpin suatu kaum.
[27] Kata Toraja berasal dari kata Toraya, perubahan tersebut terjadi karena kesulitan orang-orang Belanda menyebut huruf Y. Lihat Julius Sembiring, 2005, Eksistensi Tanah Adat Tongkonan di Kabupaten Tana Toraja Provinsi Sulawesi Selatan, Laporan Hasil Penelitian, STPN Yogyakarta.
[28] Di Bali, desa pakraman belum ditetapkan sebagai badan hukum publik yang dapat mempunyai hak milik atas tanah, sementara pura – sebagai bagian dari desa adat – dapat mempunyai hak milik atas tanah.
[29] Masing-masing kabupaten di Provinsi Sumatera Barat kemudian mengeluarkan peraturan daerah yang mengatur tentang nagari.
[30] Sjahmunir “Pemerintahan Nagari dan Desa Serta Perkembangannya di Sumatera Barat” dalam Alfan Miko, 2006, Pemerintahan Nagari dan Tanah Ulayat, Padang: Andalas University Press, hal.3.
[31] Ibid, hal.10.
[32] Sampai saat ini terdapat 1.457 desa pakraman di Bali berdasarkan hasil pendataan dari Majelis Desa Pakraman pada tahun 2008, Keterangan Wayan P. Windia di Banjar Nyuh Kuning Desa Mas Kecamatan Ubud Kabupaten Gianyar pada Tim PAH I DPD RI tanggal 6 Agustus 2009.
[33] Dalam Wayan P. Windia, 2008, Menyoal Awig-Awig. Eksistensi Hukum Adat dan Desa di Bali, Denpasar: Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, hal.39.
[34] Keterangan Wayan P. Windia di Banjar Nyuh Kuning Desa Mas Kecamatan Ubud Kabupaten Gianyar pada Tim PAH I DPD RI tanggal 6 Agustus 2009.
[35] Kahyangan Tiga merupakan bagian dari Tri Hita Karana (tiga sebab kemakmuran), yaitu: 1. Kahyangan Tiga, yang terdiri dari  tiga pura sebagai pusat pemujaan warga desa, yaitu pura puseh (tempat pemujaan brahma, yang menciptakan alam beserta isinya); pura Desa dan Bale Agung (tempat pemujaan Wisnu yang memelihara); dan pura Dalem (tempat pemujaan Siwa, yang mengembalikan kepada asalnya. 2. Palemahan Desa, yaitu tanah ulayat milik desa yang merupakan tempat pemukiman warga desa yang bersangkutan. 3. Pawongan Desa, yaitu seluruh warga desa yang bersangkutan. Sebagai warga inti adalah setiap pasangan suami-istri yang telah berkeluarga. Lihat Anonim, 1981, Sistem Kesatuan Hidup Setempat Daerah Bali, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Daerah Bali Tahun 1980/1981, hal.46.
[36] I Made Suasthawa Dharmayuda, 2001, Desa Adat. Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Propinsi Bali, Denpasar: Upada Sastra, hal.19-20.
[37] Awig-awig adalah aturan yang dibuat oleh krama desa pakraman dan atau krama banjar pakraman yang dipakai sebagai pedoman dalam pelaksanaan Tri Hita Karana sesuai dengan desa mawacara dan dharma agama di desa pakraman/banjar pakraman masing-masing. (Angka 11 Perda Nomor 3 Tahun 2001). Awig-awig ada yang tertulis, namun sebagian besar tidak tertulis. Untuk mengatur lebih lanjut ketentuan yang terdapat dalam awig-awig secara lebih terperinci, maka masing-masing desa pakraman dapat membuat peraturan yang lebih rinci yang disebut dengan perarem. Lihat Wayan P. Windia, 2008, opcit, hal. 9.
[38] Tradisi adalah kebiasaan luhur dari leluhur yang diwarisi secara turun temurun, sedangkan tata krama adalah etika pergaulan yang juga merupakan norma dalam kehidupan bermasyarakat. Hanya ditegaskan bahwa tradisi dan tata krama itu berasal dari budaya atau ajaran Hindu. Lihat Ibid ... hal.18.
[39] I Made Suasthawa Dharmayuda, 2001, opcit, hal.19.
[40] Ibid, hal.19.
[41] Banjar adalah komuniti berdasarkan wilayah yang paling dasar di Bali, terdiri dari 100 sampai 200 rumah tangga, tersusun menurut pola tempat tinggal yang memusat dengan balai pertemuan bersama sebagai fokus. Geertz dalam Ibid ... hal.39-40; sedangkan menurut Perda Nomor 3 Tahun 2001, banjar pakraman adalah kelompok masyarat yang merupakan bagian dari desa pakraman. Ketika berlaku UU Nomor 5 Tahun 1979, banjar berganti nama menjadi dusun dan lingkungan.
[42] Wayan P. Windia, 2008, op.cit, ...hal.71.
[43] Masing-masing soa tersebut mempunyai tugas dan tanggung-jawab yang berbeda-beda dalam sistem pemerintahan Kesultanan Ternate. Soa-Sio dan Sangaji merupakan Bobato 18 (Dewan 18) yang memegang kekuasaan legislatif dan berhak mengajukan calon Sultan kepada Gam Raha, sedangkan Heku adalah para soa pemegang angkatan laut di Kesultanan Ternate, dan Cim adalah para soa pemegang angkatan darat di Kesultanan Ternate, lihat H. Masyhud Ashari, 2008, Status Tanah-Tanah Kesultanan Ternate Di Provinsi Maluku Utara (Tinjauan Juridis Hukum Tanah Nasional). Laporan Penelitian: DPPM UII – Fakultas Hukum UII Yogyakarta,  hal.42-48.
[44] Hi Mudaffar Sjah, “Sejarah Hukum Adat dan Lingkungan Hukum Adat Ternate”  dalam Sukardi Syamsudin (Adi) dan Basir Awal (Editor), 2005, Moloku Kie Raha. Dalam Perspektif Budaya dan Sejarah Masuknya Islam, Himpunan Pelajar Mahasiswa Ternate, hal.22-40.
[45] Abdul Hamid Hasan, 1998, “Falsafah Adat Ternate” dalam Aroma Sejarah dan Budaya Ternate (Himpunan Makalah Abdul Hamid Hasan), Ternate, tanpa penerbit, hal.148.
[46] Sebagai contoh dari pengaruh kekuasaan Kesultanan Ternate tersebut adalah perubahan struktur pemerintahan adat tradisional orang Tobelo yang mendiami bagian utara Pulau Halmahera. Struktur pemerintahan adat itu diganti menjadi sama persis dengan struktur pemerintahan Ternate. Perubahan dimaksud dilakukan untuk membendung  pengaruh musuh-musuhnya – Tidore dan Jailolo – yang melarikan diri ke wilayah orang Tobelo tersebut. Lihat Roem Topatimasang, 2004, “Orang Tobelo. Tercerabut & Tersisih Di Tanah Sendiri” dalam Roem Topatimasang (Penyunting), Orang-Orang Kalah. Yogyakarta: INSISTPress, hal.51 dan 52.
[47] H. Masyhud Ashari, 2008, op.cit, hal.53.
[48] Maria S.W. Sumardjono, 2008, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Jakarta, Penerbit Buku Kompas, hal.178.
[49] Mochtar Naim dalam Julius Sembiring, 2009, 1000 Peribahasa Daerah tentang Tanah/Pertanahan di Indonesia, Yogyakarta, STPN Press, hal.xiv.
[50] Mochtar Naim, 1991, ‘Problema dan Prospek Tanah Ulayat di Sumatera Barat’, Makalah pada Seminar Tanah Ulayat, disampaikan dalam Konferensi Tahunan Forum Regional LSM Sumatera Barat, 28 Juni 1991 di Padang, hal.5.
[51] Di Sumatera Barat, tanah ganggam bauntuak yang semestinya ditegaskan menjadi hak pakai namun dalam kenyataannya dikonversi menjadi hak milik, lihat Kurnia Warman, 2006, Ganggam Bauntuak Menjadi Hak Milik. Penyimpangan Konversi Hak Tanah di Sumatera Barat, Padang, Andalas University Press. Di Bali, tanah Pekarangan Desa (PKDS) dan Ayahan Desa (AYDS) yang sesungguhnya hanya diberikan kewenangan memakai oleh krama desa dikonversi menjadi hak milik. Proses konversi tersebut saat ini telah dilarang.
[52] Maria S.W. Sumardjono, 2008, opcit, hal.179.

1 komentar: