Kamis, 01 Desember 2011

INISIASI KOPERASI DALAM PENINGKATAN ASET DAN AKSES REDISTRIBUSI TANAH DI KABUPATEN TASIKMALAYA


Oleh:
Bambang Suyudi*


Abstract 

One of the government's efforts in providing justice and public welfare associated with agrarian resources is the implementation of land redistribution. In the concept of Agrarian Reform, the implementation of land redistribution should be to increase assets and providing access to beneficiaries of land redistribution. In Tasikmalaya Regency is interesting to study the initiation and provision of access by cooperatives in the implementation of land redistribution in the Sukawangun Village, Karangnunggal District.  Furthermore there are 2 (two) research questions that need to be formulated, namely: (a) how the implementation process of land redistribution on the initiation by cooperatives in the Sukawangun Village, Karangnunggal District, Tasikmalaya Regency? and (b) what the role of cooperatives in providing access to land redistribution beneficiaries?

The results can be explained that the cooperative is managing Wangunwatie Rubber Plantation, which is directly adjacent to land redistribution object. The object of land redistribution has strong links with Wangunwatie Rubber Plantation and the land redistribution beneficiaries are farm workers and the founders of the cooperative.  Access provided by the Cooperative are (a) provide access to participate in managing Wangunwatie Rubber Plantation, (b) provided the impetus to use the land redistribution with the following rubber plant provides seed capital, knowledge, maintenance and highly profitable sharing of the people receiving the land redistribution. 


A. Pendahuluan
Sumber daya tanah merupakan kebutuhan dasar bagi setiap rakyat, sebagaimana tanah itu sendiri menjadi bagian terwujudnya suatu negara. Negara ada dan berdiri harus mempunyai wilayah, rakyat ada sudah pasti hidup di atas tanah. Manusia beraktifitas, bermasyarakat dan dalam melangsungkan kehidupannya memerlukan tanah, juga hidup  dengan memanfaatkan sumber daya alam yang ada baik di permukaan, di dalam tubuh bumi maupun di atas permukaan bumi. Demikian besar keberadaan tanah bagi kehidupan, sehingga tanah menjadi bagian dasar dari kebutuhan manusia.
Mengingat tanah menjadi bagian hidup dan kehidupan manusia agar dapat memberikan keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia maka diperlukan pengaturannya oleh negara. Negara berhak dan mempunyai kewajiban untuk mengatur sumber daya tanah. Tanah dalam tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kiranya perlu diingat  lagi apa yang tercantum dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945, bahwa “Bumi, air dan kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Akan tetapi sebagaimana disampaikan oleh Boedi Harsono (2002),”bahwa hak menguasai dari Negara bukan berarti memiliki, seperti pengertian “domein”, melainkan merupakan kewenangan di bidang hukum publik dari Negara sebagai organisasi kekuasaan bangsa Indonesia”.
Sejak diproklamirkannya Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, dan dengan disusunnya UUD 1945 maka pemerintah baru pada tanggal 24 September 1960 mengeluarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang lebih dikenal dengan UUPA 1960. Inilah produk hukum pertama dibidang Agraria yang komprehensip untuk mengatur dan mengelola sumber daya agraria dengan landasan UUD 1945 dan bukan berlandaskan hukum Kolonial Belanda yang sama sekali tidak berpihak pada rakyat. Proses penyusunan UUPA ini sangat panjang, yang sebetulnya sudah dimulai sejak tahun 1948. Kondisi revolusi fisik yang terus berkecamuk, banyaknya pemberontakan yang terjadi dan silih berganti, pergantian bentuk pemerintahan, pergantian kabinet yang bisa terjadi setiap saat menjadikan kendala dalam penyelesaian rancangan UUPA. Akan tetapi pemerintah secara konsisten tetap mengagendakan pembahasan rancangan UUPA karena pemerintah sadar pentingnya pengelolaan sumber daya agraria dan perlunya kesatuan hukum tanah dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sedangkan tujuan dari UUPA adalah sebagaimana tercantum dalam pasal 2 ayat 3 yang berbunyi,”Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari negara tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemakmuran dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat adil dan makmur.”
Ditetapkannya UUPA telah membawa angin munculnya berbagai aturan, salah satunya adalah mengenai peraturan landreform yang tertuang dalam pasal 7 dan 17 UUPA. Aturan tersebut merupakan acuan dalam penetapan luas tanah pertanian yang selanjutnya ditindaklanjuti dengan berbagai aturan di bawahnya. Deretan aturan tersebut secara rinci diuraikan oleh  Gunawan Wiradi (2009), yaitu:
1.         Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian (UU No. 56/1960), yang secara salah kaprah dikenal dengan UU Landreform.
2.         Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Obyak Landreform (PP 224/1961).
3.         Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pengukuran Desa Lengkap (PP 10/1961).
4.         Keputusan Presiden Nomor 131 Tahun 1961 tentang Pembentukan Panitia Landreform Nasional (Keppres 131/1961).
5.         Keputusan Presiden Nomor 263 Tahun 1964 tentang Pembentukan Panitia Landreform Tingkat Provinsi, Kabupaten dan Kecamatan (waktu itu disebut Daerah Swatantra Tingkat I, II dan III) dalam rangka otonomi daerah (Keppres 263/1961), dan
6.         Pembentukan  Panitia Pengadilan Landreform pada tahun 1964, untuk memutuskan sengketa-sengketa yang terkait pelaksanaan Landreform.
Pelaksanaan landreform ini mulai dilancarkan oleh pemerintah sejak 24 September 1961 dan berjalan di Pulau Jawa, Bali, Sulawesi dan Kepulauan Nusa Tenggara dengan obyek tanah yang melebihi batas maksimal dan tanah-tanah guntai dengan luas sekitar satu juta hektar yang dibagikan kepada rakyat tani  kecil yang membutuhkan.
            Dalam penjelasan lebih lanjut tentang landreform, masih menurut Gunawan Wiradi, bahwa istilah Tanah Obyek Landreform (TOL) muncul karena adanya persepsi masyarakat yang keliru bahwa landreform adalah program pendistribusian tanah, yang kemudian timbul pertanyaan, tanah siapa dan tanah apa yang dibagi-bagikan. Menurut UUPA semua tanah harus ditata ulang peruntukannya. Jadi, tidak harus didistribusikan tetapi juga di”redistribusi” artinya diserasikan agar rakyat memperoleh hak secara relatif merata dan adil. Istilah redistribusi tanah ini akhirnya menjadi lebih sering didengar sampai dengan saat ini. Sedangkan tanah obyek landreform pada tahap pertama terdiri dari tiga macam, yaitu (a) tanah kelebihan; (b) tanah guntai dan bekas partikelir; dan (c) bekas tanah swapraja yang diambil oleh pemerintah.
            Terkait dengan dengan pelaksanaan redistribusi tanah di berbagai daerah di Pulau Jawa, maka salah satu kabupaten yang patut untuk cermati adalah proses redistribusi tanah di Kabupaten Tasikmalaya. Dalam format Reforma Agraria maka pelaksanaan redistribusi tanah di Kabupaten Tasikmalaya ini telah memenuhi unsur pemberian aset tanah dengan pengakuan yang kuat karena diterbitkannya sertipikat hak atas tanah dan pemberian akses terhadap pemilik tanah untuk peningkatan kesejahteraan mereka. Peningkatan akses ini tidak saja pada pemanfaatan tanah tetapi juga kemudahan dalam operasional pembiayaan termasuk masalah ketenagakerjaan. Hal yang menarik lagi lagi adalah pemberi akses yang pada umumnya dilakukan oleh pemerintah akan tetapi di Kabupaten tasikmalaya ini justeru diberikan oleh sebuah Koperasi.
Pada awalnya dalam penegasan tanah obyek landreform  hanya berupa data tekstual dan tidak dilakukan pengukuran, sehingga luas berdasarkan pengakuan. Tanah redistiribusi ini di masyarakat lebih di kenal dengan TANAH SK, yang merupakan tanah bekas hak Erfach (tanah bekas hak pakai/ HGU jaman kolonial Belanda). Data kasar tanah obyek landreform di Kabupaten Tasikmalaya sekitar 70.000 bidang tanah. Pengaturan lebih lanjut mengenai hal ini  pada Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 11 Tahun 1997.
Redistribusi tanah obyek landreform adalah untuk petani miskin dengan penggunaan untuk tanah pertanian, apabila tanah tersebut digarap oleh orang lain atau subyek hak telah menjadi pengusaha atau orang kaya maka dasar pemberian tetap sesuai dengan surat keputusannya. Dalam proses pemberian TOL kepada masyarakat diberikan akses berupa pembinaan kepada petani, memang belum bisa memberikan akses yang lain seperti pada kegiatan di daerah lain. Legalisasi aset pertanahan melalui TOL ini mengalami peningkatan yang besar saat BPN memasuki era baru BPN RI tahun 2006.
            Menilik uraian di atas terhadap pelaksanaan redistribusi tanah di Kabupaten Tasikmalaya, penulis merumuskan permasalahan penelitian ini dalam 2 (dua) pertanyaan penelitian, yaitu; Pertama, bagaimana proses pelaksanaan redistribusi tanah atas inisiasi koperasi di Desa Sukawangun Kecamatan Karangnunggal Kabupaten Tasikmalaya? Kedua, apa saja peran koperasi dalam memberikan akses terhadap penerima redistribusi tanah tersebut?

2.      Tinjauan Pustaka
Sejarah pelaksanaan landreform di Indonesia diikuti  dengan berbagai aturan yang rinci sampai dengan tingkat kecamatan akan tetapi pelaksanaan landreform tidak dapat berjalan dengan lancar. Terjadinya peristiwa politik   G30S/PKI tahun 1965 telah menjadikan   landreform ibarat tersandung batu. Pemerintahan baru yang lebih dikenal dengan Orde Baru dengan serta merta melupakan dan meninggalkan landreform,  bahkan UUPA sendiri ibarat mati suri dan dinyatakan sebagai produk PKI. Walaupun pada akhirnya, pemerintah Orde Baru pun menyadari kekeliruannya sehingga keluarlah  TAP MPR No. IV/MPR/1978. Ketetapan MPR ini mengukuhkan kembali keberadaan UUPA sebagai produk nasional dan bukan merupakan produk PKI (Gunawan Wiradi, Benjamin White, 1984).
Seiring dengan perkembangan kondisi politik negara sejak tumbangnya Orde Baru, maka masalah pengelolaan sumber daya agraria mendapat tempat lagi dalam pembangunan nasional.  Permasalahan kemiskinan, ketimpangan dan ketidakadilan sosial-ekonomi rakyat serta kerusakan sumber daya alam telah menjadikan pemikiran bagi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk menetapkan TAP Mo. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Dalam pasal 2 ketetapan tersebut dijelaskan bahwa, “Pembaruan agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Arah kebijakan pembaruan agraria sebagaimana dalam ketetapan MPR tersebut secara rinci dapat disampaikan sebagai berikut:
1.         Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antar sektor demi terwujudnya peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada prinsip-prinsip pembaruan agraria.
2.         Melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat.
3.         Menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi pemanfaatan tanah secara komprehensif dan sistematis dalam rangka pelaksanaan landreform.
4.         Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip pembaruan agraria.
5.         Memperkuat kelembagaan dan kewenangannya dalam rangka mengemban pelaksanaan pembaruan agraria dan menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang terjadi.
Menyikapi arah kebijakan pembaruan agraria tersebut sampai dengan saat ini, kiranya dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.         Dalam aturan perundangan saat ini sedang digodog Rancangan Undang-Undang Pertanahan yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari UUPA, terakhir pada tahun 2010 terbit Peraturan Pemerintah  Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar (PP 11/2010).
2.         Pelaksanaan landreform saat ini mendapatkan tempat yang memadai dan ini akan terus dilaksanakan. Menurut Gunawan Wiradi dan Benjamin White (1984) bahwa,”Kebutuhan untuk dilaksanakannya landreform didasarkan pada adanya bentuk-bentuk kepemilikan tanah yang membatasi akses, seiring dengan kondisi-kondisi timpang yang mengatur sistem penguasaan tanah, yang selanjutnya bahwa sebagai aset sosial, maka tanah memiliki dua fungsi krusial: 1)untuk memungkinkan dilakukannya produksi pertanian, dan 2) untuk memberikan lapangan kerja yang menghasilkan bagi sebagian besar masyarakat.”
3.         Berkenaan dengan penguatan kelembagaan BPN untuk mengemban agenda reforma agraria dan sekaligus menyelesaikan dan mencegah konflik maka BPN telah mereposisi kelembagaan dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional.

Pembaruan agraria merupakan suatu proses yang kompleks. Berbagai persyaratan untuk keberhasilan program Pembaruan Agraria sebagaimana disampaikan oleh Maria SW Sumardjono (2008) antara lain:
1.         Pembaruan Agraria harus dilaksanakan tepat waktu (tidak ditunda-tunda).
2.         Restrukturisasi pemilikan, penguasaan, dan pemanfaatan tanah dan sumber-sumber agraria lainnya perlu disertai dengan berbagai upaya lain, yakni tersedianya kredit, pengembangan pemasaran, ketersediaan tenaga kerja dan modal atau akses pada pasar produksi.
3.         Reformasi peraturan perundang-undangan sektoral dalam rangka mencapai harmonisasi hukum tentang sumber-sumber agraria/sumber daya alam.
4.         Reformasi kelembagaan yakni penguatan organisasi-organisasi petani, nelayan dan sebagainya.
Pelaksanaan landreform terkait dengan redistribusi tanah dari tahun 1961 a/d 2002, menurut data BPN (Tondo Subagyo dan Gunawan Sasmita, 2004), terdapat lebih kurang 1.770.444 ha tanah obyek landreform, dan dari  luasan tersebut telah diredistribusikan seluas kurang lebih 884.954 ha kepada 1.374.214 kepala keluarga sehingga sisa tanah obyek landreform masih seluas lebih kurang 885.490 ha.
Tanah obyek landreform mungkin akan terus bertambah dan diharapkan keluarga petani yang akan menerima juga akan terus bertambah, sebagai upaya untuk mewujudkan penguasaan dan pemilikan tanah yang adil dan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat. Tugas inipun tidak semata-mata dilakukan oleh BPN RI tetapi juga oleh Pemerintah Daerah (Pemkab/pemkot). Pada tahun 2003 terbit Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 (Keppres 34/2003), tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan, sebagai amanat TAP MPR No. IX/MPR/2001. Pasal 2 dari Keppres 34/2003 ini menyebutkan bahwa sebagian kewenangan pemerintah di bidang pertanahan dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota, yang salah satunya mengenai “Penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimal dan tanah absente”.
Selanjutnya pada tahun 2010 ini juga terbit Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar  (PP 11/2010). Dalam peraturan pemerintah ini dijelaskan bahwa obyek penertiban tanah terlantar meliputi tanah yang sudah diberikan hak oleh Negara berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya.
            Pelaksanaan dari PP 11/2010 ini segera ditindaklanjuti dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar (Perkaban 4/2010). Keterlibatan pemerintah daerah juga sangat besar karena masuk dalam susunan keanggotaan Panitia C, yang bertugas untuk mengambil keputusan dalam upaya penertiban tanah terlantar. Dalam hubungannya dengan landreform maka pendayagunaan tanah negara bekas tanah terlantar ini maka peruntukan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatannya didayagunakan untuk kepentingan masyarakat dan negara melalui reforma agraria dan program strategis negara serta untuk cadangan negara lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa program redistribusi tanah akan terus berlangsung dan obyek tanah landreform juga akan terus bertambah seiring belum sadarnya masyarakat dan badan usaha untuk benar-benar melakukan pengelolaan sumber daya agraria.

C. Metode penelitian
            Penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu mendeskripsikan tentang keadaan, kondisi dan proses yang terjadi di daerah penelitian terkait pelaksanaan redistribusi tanah di  Desa Sukawangun Kecamatan Karangnunggal Kabupaten Tasikmalaya. Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi dokumentasi terhadap data dari beberapa instansi terkait, observasi terhadap daerah studi secara langsung di lapangan dan dengan wawancara terhadap pejabat terkait dan masyarakat penerima redistribusi tanah di daerah penelitian. Analisis data dilakukan secara kualitatif, setelah data terkumpul kemudian diklasifikasikan berdasarkan tata urutan proses, keluasan lingkup informasi terkait dengan permasalahan yang diteliti.

D. Hasil Penelitian
            Redistribusi tanah dalam cakupan penelitian ini  adalah pemberian hak milik dalam rangka redistribusi tanah negara obyek pengaturan penguasaan tanah/ landreform yang dilaksanakan di Desa Sukawangun Kecamatan Karangnunggal Kabupaten Tasikmalaya. Berbicara redistribusi tanah di Desa Sukawangun tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan Perkebunan Wangunwati yang mengusahakan tanaman karet dan cengkeh. Sedemikian halnya pembahasan ini tidak akan lengkap tanpa ada penjelasan tentang keberadaan Koperasi Produksi Perkebunan Karet Wangunwatie (KPPKW) yang justeru menginisiasi dan memberikan akses terhadap peserta redistribusi tanah.

1.      Perkebunan Karet Wangunwatie
            Menilik sejarah perkembangan perkebunan di Indonesia kiranya tidak salah apabila diuraikan terlebih dahulu kondisi pengelolaan perkebunan dari apa yang dituliskan Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (1975), yaitu bahwa Pada bulan Maret 1942 Jepang berhasil merebut Hindia Belanda sesuai dengan rencana. Setelah pemerintah Hindia Belanda memperhitungkan bahwa invasi Jepang tidak dapat ditahan lagi, maka mulailah dilaksanakan aksi bumi-hangus. Obyek-obyek vital dihancurkan, yang sebagian besar terdiri atas aparat produksi. Akibatnya pada saat pertama pendudukan Jepang hampir seluruh kehidupan ekonomi lumpuh (ditaksir 4000 aparat produksi dengan jumlah pekerja 325.000 orang). Kehidupan ekonomi berubah dari keadaan normal menjadi ekonomi perang.
Khusus mengenai perkebunan dikeluarkan undang-undang No. 22/1942. Pada undang-undang itu dinyatakan, bahwa gunseikan (kepala pemerintahan militer) langsung mengawasi perkebunan-perkebunan kopi, kina, karet, teh. Pelaksanaan mengawasi perkebunan tersebut diserahkan kepada sebuah badan pengawas yang dibentuk oleh gunseikan. Badan pengawas itu bernama Saibai Kigyo Kanrikodan (SKK) yang bertugas selain mengawasi juga memegang monopoli pembelian dan menentukan harga jual hasil perkebunan.
Demikian pula tanaman karet juga dianggap penting. Di Jawa Timur hampir semua perkebunan karet dinyatakan terus bekerja sebagai tanaman yang ditunjuk oleh gunseikan. Di Sumatra perkebunan karet yang direhabilitasi seluas 672.000 hektar yang terdiri dari 216 perkebunan. Karet dan kina dianggap sebagai barang penting maka tingkat kerusakannya relatif kecil. Prosentasi kerusakan dan penyusutan areal perkebunan adalah karet 7%, teh 22%, kina 3%, kopi 22%, kelapasawit 16%.
Demikian halnya dengan Perkebunan Wangunwatie yang terletak di Kecamatan Karangnunggal Kabupaten Tasikmalaya. Pada masa peralihan Penjajahan Jepang, Pemerintah Hindia Belanda memerintahkan pembumihangusan perkebunan ini. Perkebunan Wangunwatie ini merupakan  bekas perkebunan milik warga Negara  Jerman, dengan  mengusahakan tanaman karet.  Kiranya tanaman karet dianggap penting oleh Pemerintahan Jepang sehingga perkebunan karet ini turut terselamatkan. Luas seluruh areal perkebunan Tanah Bekas Ervacht Straat Sunda Syndicaat NV Cultuur MIJ Wangunwatie ini seluas 748,353 Ha.
Sebagaimana Surat Wakil Kepala Djawatan Perkebunan Kementrian Pertanian tertanggal 24 Mei 1951 No. E.1309/PKB, bahwa semestinya Perkebunan Wangunwatie ini diurus oleh PPN, tetapi berhubung dengan kerusakan teknis perusahaan dan keadaan kebun maka PPN belum dapat mengurusnya. Apabila ditelusur dari sejarah memang PPN (Perusahaan Perkebunan Negara) merupakan perusahaan negara yang diserahi tugas untuk mengatur dan mengelola perkebunan di seluruh wilayah Negara Indonesia. PPN ini adalah perusahaan negara yang dibentuk berdasar Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1946, tanggal 6 Juni 1946, yang mempunyai tugas:
1.    meneruskan pekerjaan bekas perusahaan perkebunan yang dikuasai Jepang.
2.    Mengawasi perkebunan bekas milik Belanda.
3.    Mengawasi perkebunan-perkebunan lainnya dengan cara mengawasi mutu produksinya.
Berikutnya disarankan agar diajukan kepada Gubernur Djawa Barat, sementara Pemerintah belum membuat keputusan lain, yaitu:
1.         Kebun Wangunwatie yang masih ada karetnya diberikan kepada bekas pegawai-pegawai kebun Wangunwatie untuk diusahakan.
2.         Modal kerja dicari sendiri oleh pegawai-pegawai tersebut.
3.         Bagian kebun yang tidak ada karetnya terserah Gubernur bagaimana mengusahakannya dengan keterangan bahwa sebagian besar kurang lebih 100 ha sudah menjadi sawah yang dapat diairi.
4.         Hasil kebun disalurkan kesaluran yang legal dan syah.
5.         Semua peraturan tersebut diatas bersifat sementara dan pemerintah berhak merubahnya sedang semua yang berkepentingan harus tunduk padanya.

Dengan adanya surat ini maka dengan perjuangan yang tinggi dari  bekas Pegawai-pegawai Perkebunan Wangunwatie maka mulai  tahun 1951, penguasaan atas bekas perkebunan Wangunwatie  dibagi menjadi tanah yang digarap bekas pegawai-pegawai  perkebunan seluas   462,153 Ha dan menjadi Tanah HGU milik KPPKW seluas 280,20 Ha dengan tanaman karet, cengkeh dan peruntukan ekologi.

2.      Koperasi Produksi Perkebunan Karet Wangunwatie
            Koperasi diawal kemerdekaan menjadi tumpuan harapan dalam pengembangan ekonomi negara. Bahkan menurut Gunawan Wiradi (2009), menyebutkan,”Ketika Republik Indonesia masih berumur enam bulan, pada bulan Februari 1946 Wakil presiden RI, Bung Hatta sudah menulis dan menyampaikan pidato penting mengenai ”Ekonomi Indonesia di Masa Depan” dimana dinyatakan prinsip-prinsip mengenai penataan masalah agraria di tanah air. Tiga diantara prinsip itu berkenaan dengan masalah perkebunan. Pertama, perusahaan yang mempergunakan tanah luas, sebaiknya diatur sebagai koperasi di bawah pengawasan pemerintah. Kedua, tanah-tanah yang dipakai oleh perkebunan-perkebunan besar pada dasarnya adalah milik masyarakat. Pengusahaan perkebunan itu dalam bentuk koperasi memberikan koperasi itu hak menggunakan tanah selama diperlukan, tetapi ia tidak boleh memindahkan hak berusaha itu kepada pihak lain. Ketiga, hanya pengusahaan di atas tanah yang tidak begitu luas dan dapat dikerjakan sendiri, yang boleh menjadi kepunyaan orang seorang.
            Sejalan dengan itu sebagaimana yang juga disampaikan Mochammad Tauchid (2009), bahwa ,”Perubahan hukum tanah dan pemakaian tanah diantaranya dijalankan dengan cara, tanah erfpacht dan konsesi tidak diperpanjang lagi. Paling lama sepanjang kontraknya itu . Tanah erfpacht yang sudah habis kontraknya kembali kepada negara untuk dijadikan tanah pertanian rakyat. Dengan pimpinan teknik dari pemerintah terus diusahakan sebagai perkebunan rakyat dengan pabrik-pabrik dan instalasi sebagai milik koperasi. Perkebunan itu dapat juga diusahakan oleh pemerintah menjadi perkebunan negara untuk kepentingan usaha-usaha yang harus diusahakan oleh negara.”
Koperasi Perkebunan Wangunwatie merupakan Koperasi Produksi Perkebunan Karet Wangunwatie (KPPKW) yang berdiri sejak tanggal 2 Mei 1952 dengan Badan Hukum No. 2108/BH/PAD/KDK/10.15/VI/2004 tanggal 07-06-2004, yang terletak di Desa Sukawangun Kecamatan Karangnunggal Kabupaten Tasikmalaya, dan bukan Koperasi Karyawan Perkebunan karena justeru koperasi ini mempunyai unit usaha perkebunan dengan memegang Hak Guna Usaha No. 37/HGU/BPN/1989, tanggal 20 Juli 1989.  Anggota Koperasi perkebunan ini berasal dari 3 (tiga) desa yaitu Desa Sukawangun Kecamatan Karangnunggal, dan Desa Setiawaras, Desa Cisempur Kecamatan Cibalong, Kabupaten Tasikmalaya.             Koperasi ini pada tahun 2008 masuk klasifikasi A (amat baik) sehingga diharapkan benar-benar dapat meningkatkan kesejahteraan anggotanya yang hampir semua bermata pencaharian sebagai petani, karyawan dan pekerja perkebunan.
Pembentukan KPPKW ini berawal dari perasaan senasib bekas pegawai perkebunan Wangunwatie (Perkebunan milik Jerman yang berdiri tahun 1908), yang karena proses nasionalisasi ditinggalkan pemiliknya dan tidak terurus sehingga bekas pegawai perkebunan ini berinisiatif meneruskan kegiatan perkebunan dengan membentuk koperasi KPPKW, dan hal ini sejalan dengan  Surat Wakil Kepala Djawatan Perkebunan Kementrian Pertanian tertanggal 24 Mei 1951 No. E.1309/PKB. Koperasi Perkebunan ini mengelola Perkebunan Karet dengan HGU bekas “hak erfach” milik Warga Negara Jerman dan selanjutnya pada tahun 1951 oleh Menteri Pertanian di minta untuk dikelola Koperasi, dengan sebagian digarap oleh para bekas pegawai perkebunan  dan sebagian lagi menjadi asset koperasi untuk diteruskan usahanya. Pengusahaan perkebunan oleh koperasi ini dirintis oleh bekas pegawai perkebunan dan salah seorang yang turut berjuang dalam perang kemerdekaan.
Perlu diketahui juga bahwa dalam proses pembentukan koperasi dengan mengelola tanah HGU bekas perkebunan Jerman ini, mendasari lahirnya tanah-tanah redistribusi di sekitar areal perkebunan. Luas seluruh areal perkebunan Tanah Bekas Ervacht Straat Sunda Syndicaat NV Cultuur MIJ Wangunwatie ini seluas 748,353 Ha, kemudian mulai tahun 1951 dibagi menjadi tanah yang digarap bekas pegawai perkebunan seluas   462,153 Ha dan menjadi Tanah HGU milik KPPKW seluas 280,20 Ha dengan tanaman karet, dan cengkeh.
Koperasi ini memberikan kontribusi dalam penerimaan Negara melalui pajak bumi dan bangunan (PBB), pajak pertambahan nilai (PPN), pajak penghasilan (PPH), kontribusi ke desa untuk dana pembangunan dan tentu sangat besar manfaatnya bagi masyarakat dimana mereka sebagai penerima tanah redist, sebagai pekerja perkebunan dan sekaligus sebagai anggota koperasi. Dalam menjalankan usahanya koperasi ini dibina oleh beberapa instansi seperti Dinas Koperasi terkait badan hukum dan usahanya,  Dinas Kehutanan dan Perkebunan karena usahanya di bidang perkebunan karet dan Kantor Pertanahan terkait pengelolaan lahan HGU maupun lahan TOL.
Dalam pembinaan koperasi  setiap 3 (tiga) bulan ada pembinaan karyawan dan anggota,  dan dalam pembinaan terkait usahanya di bidang perkebunan dilakukan pembinaan setiap bulan. Dalam menjalankan usaha, koperasi ini mengacu pada UUD Tahun 1945, UU Koperasi dimana didirikan untuk kesejahteraan anggota dan masyarakat sekitarnya sehingga anggotanya juga dari desa disekitar dan menjalin mitra kerjasama dengan masyarakat sekitar dalam penanaman karet rakyat. Bagi karyawan dan pekerja perkebunan ditanggung kesehatannya untuk berobat ke dokter dan untuk RSU ada JAMSOSTEK, dan upah mereka minimal sebesar UMR Kabupaten Tasikmalaya (Rp. 780.000,00/bln).
Koperasi perkebunan ini beranggotakan 181 orang terdiri dari laki-laki 128 orang dan wanita 53 orang. Jumlah karyawan keseluruhan 194 pegawai dengan rincian pekerja tetap 91 orang dan pekerja lepas 103 orang dengan pengupahan mengacu pada Upah Minimum Regional (UMR). Jenis pengupahan ini untuk gaji/upah tertinggi Rp. 3.725.000,00 per bulan, gaji/upah terendah Rp. 788.000,00 per bulan dan upah harian Rp. 15.000,00 per 5 jam kerja. Setiap tahun rata-rata menghasilkan usaha 3 (tiga) milyard rupiah (tahun 2008, Rp. 3.078.499.100,00), dan memberikan kontribusi pemasukan pajak PBB, PPH, PPN/restribusi sebesar Rp. 278.458.680,00

3.      Redistribusi Tanah Bekas Perkebunan Karet Wangunwatie
Menilik kembali pengusahaan lahan HGU oleh Koperasi Produksi Perkebunan Karet Wangunwatie yang berada di lahan Perkebuan Karet Wangunwatie, maka penggarapan sebagian areal lahan perkebunan telah menjadikan embrio adanya redistribusi tanah di Wangunwatie Desa Sukawangun pada tahun 1965. Terkait dengan Redistribusi Tanah ini, di Desa Sukawangun terdapat sekitar 350 Ha, penetapan didasarkan pada Surat Keputusan Kepala Inspeksi Agraria Jawa Barat tanggal 4 Juni 1965 No. LR.249/D/VIII/60/1965, yang baru pada tahun 2002 disertipikatkan melalui Pemberian Hak Milik sebanyak 958 bidang dan tahun 2009 sebanyak 300 bidang tanah. Dalam pelaksanaan redistribusi ini didasarkan pada  PMNA/KBPN Nomor 11 Tahun 1997.
Pemberian Hak Milik terhadap warga masyarakat di Desa Sukawangun Kecamatan Karangnunggal Kabupaten Tasikmalaya tersebut disertai dengan ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat sebagai berikut:
1.        Penerima hak dibebaskan dari kewajiban membayar uang pemasukan dan biaya administrasi kepada Negara, hal ini terkait dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 4 Tahun 1998 jis Surat Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional tanggal 22 Juni 1998 No. 110-1955 dan Surat Edaran Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional tanggal 11 Desember 1998 No. 420-4816 dan tanggal 22 Maret 1999 No. 410-1030-DII, terhadap Pemberian Hak Milik dimaksud kepada para penerima Redistribusi tidak dikenakan/dibebaskan dari kewajiban membayar uang pemasukan kepada Negara.
2.        Penerima Hak diwajibkan menyelesaikan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
3.        Bidang-bidang tanah tersebut harus diberi tanda-tanda batas sesuai dengan peraturan  yang berlaku.
4.        Penerima Hak wajib mengusahakan/mengerjakan tanahnya sendiri secara aktif.
5.        Hak Milik yang diberikan dilarang dialihkan kepada pihak lain, baik sebagian maupun seluruhnya kecuali mendapat izin dari Kepala kantor Pertanahan Kabupaten Tasikmalaya.
Awal proses sertipikasi dipicu oleh keputusan Kantor Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) bahwa tanah bekas perkebunan tersebut tidak perlu tarik pajak karena masuk kategori tanah negara. Dikarenakan masyarakat memegang SK Redistribusi Tanah tahun 1965 maka penerima SK Redistribusi dengan diinisiasi pengurus koperasi mengajukan sertipikasi ke Kantah Kabupaten Tasikmalaya.  Tidak ada permasalahan dalam proses sertifikasi ini karena semuanya sesuai dengan prosedur yang ada. Jadi pihak koperasi perkebunan menginisiasi dan memberikan bantuan dalam pelaksanaan pensertipikatan Tanah Obyek Landreform (TOL) ini, didasarkan bahwa hampir semua pemilik TOL adalah anggota koperasi dan diharapkan agar hubungan antara koperasi dan masyarakat menjadi lebih harmonis dan masyarakat lebih mengefektifitaskan pemanfaatan dan penggunaan tanahnya.

4.      Pengelolaan dan Pemberian Akses KPPKW terhadap Redistribusi Tanah Bekas Perkebunan Karet Wangunwatie
Tanah Obyek Landreform  ini dikelola masyarakat sesuai dengan kondisi lahannya. Penggunaan lahan meliputi tanah sawah dan tanah pekarangan. Tanah sawah dengan tanaman utama padi, kebun/tegalan dengan  tanaman tahunan seperti karet, kopi, cengkeh, albasia dan tanaman semusim seperti jagung dan kacang tanah, dan sebagian lagi dipergunakan untuk kolam ikan. Untuk tanah sawah pada musim penghujan airnya melimpah dan untuk musim kemarau didukung beberapa dam/ kolam yang airnya dapat dimanfaatkan untuk mengairi sawah. Untuk tanah pekarangan dipergunakan untuk tempat tinggal, perkantoran, sekolah dasar, dan tempat usaha seperti warung dan toko kelontong.
Keberadaan koperasi perkebunan ini sangat menguntungkan bagi masyarakat khususnya untuk bermitra dengan pihak perkebunan. Bentuk kemitraan ini melalui kerjasama dengan mengelola perkebunan karet rakyat. Masyarakat yang mempunyai lahan (tanah TOL), diminta untuk menanami karet dengan pembinaan dari pihak koperasi. Bentuk pembinaan ini meliputi tata cara pembukaan lahan yang diperuntukan tanaman karet, pemberiaan bibit karet, cara pemeliharaannya yang meliputi pemupukan dan pemberantasan hama, dan tata cara penyadapan karet. Hasil penyadapan karetpun dibeli oleh koperasi dengan sistem bagi hasil. Persentase bagi hasil adalah 70% untuk masyarakat dan 30% untuk koperasi. Melalui sistem bagi hasil seperti ini jelas masyarakat tidak dirugikan dan pihak koperasi juga masih mendapatkan keuntungan yang nantinya juga menjadi hasil usaha koperasi. Beberapa masyarakat penerima TOL telah mendapatkan manfaat dari kemitraan ini, diantaranya untuk setiap lahan karet rakyat 1 (satu) hektar memberikan pemasukan bersih 3-4 juta/ bulan. Sungguh ini merupakan penopang kehidupan masyarakat dan bentuk nyata adanya akses yang didapatkan masyarakat dari aset tanah melalui sertipikasi TOL.
Hal yang perlu disampaikan juga bahwa untuk bermitra dengan koperasi perkebunan ini, masyarakat harus membentuk ”kelompok tani” karet. Hal ini dimaksudkan untuk lebih mempermudah akses informasi, pengelolaan dan pengkoordinasian antara pihak koperasi dengan para petani. Saat ini ada 48 petani karet yang bermitra dengan koperasi. Tanaman karet adalah tanaman yang multi fungsi  dikarenakan tanaman ini bisa untuk penghijauan, konservasi sekaligus tanaman yang berproduksi untuk jangka waktu yang lama. Tanaman ini begitu rapat dengan jarak tanam 3 x 5 meter, dapat hidup dengan baik pada kemiringan tanah 60%, akarnya kuat sehingga mampu untuk menahan curahan air hujan dan membutuhkan air yang sedikit. Tanaman ini dapat diambil getahnya/ disadap setelah berumur 6 tahun dan dapat berproduksi sampai dengan umur 35 tahun.
Pemberian akses dari KPPKW terhadap para petani yang punya lahan pertanian juga didasarkan pada beberapa peraturan yaitu:
1.        Peraturan Gubernur Provinsi Jawa Barat No. 11 Tahun 2006 tanggal 27 Pebruari 2006, tentang Pemberdayaan Masyarakat Desa Sekitar Hutan Negara dan Perkebunan Besar.
2.        Surat Gubernur Provinsi Jawa Barat No. 525/646/Binpol tanggal 5 Maret 2007 kepada Perkebuanan Besar Negara dan Perkebunan Besar Swasta Perihal Bimbingan Terhadap Perkebunan Rakyat di Sekitar Perkebunan Besar.
3.        Anggaran Dasar, Visi, dan Misi Koperasi KPPKW
4.        Surat Edaran GRLHK untuk menghijaukan kembali lahan dengan ditanami tanaman tahunan yang dapat menghasilkan daya guna dan manfaat guna bagi negara dan masyarakat dalam meningkatkan pendapatan dan memenuhi kesejahteraan rakyat, meningkatkan daya beli masyarakat dan juga membantu pengadaan lapangan kerja dan melestarikan alam yang berkelanjutan, menata air dan kesuburan tanah.
Perkebunan Karet Wangunwatie  masuk kategori perkebunan yang sehat, terlihat diareal perkebunan ada lahan fasilitas umum, lahan pembibitan, lahan tanaman karet muda, lahan karet yang menghasilkan, lahan karet tua sehingga semuanya berproses dan tidak akan kehabisan stok tanaman karet yang berproduksi. Masyarakat dapat memanfaatkan lahan pembibitan karet dengan tanaman tumpangsari seperti pisang, kacang dan umbi-umbian sampai dengan tanaman karet berumur 3 tahun. Dengan sistem ini masyarakat masih dapat memanfaatkan lahan tanaman karet baik milik perkebunan maupun perkebunan karet rakyat.
Dalam pengamanan aset dan menghindari adanya konflik pertanahan terkait aspek spasial maka pemasangan dan pemeliharaan tanda batas bidang baik tanda-tanda batas bidang tanah obyek landreform maupun tanah perkebunan terus dijaga. Di lapangan terlihat puluhan tanda batas bidang yang tetap terjaga dan terpelihara ini menandakan adanya sikap kebersamaan untuk mengelola lahan TOL dan lahan perkebunan untuk kesejahteraan bersama.

E. Penutup
1. Kesimpulan
            Pelaksanaan redistribusi tanah di Desa Sukawangun Kecamatan Karangnunggal Kabupaten Tasikmalaya diinisiasi oleh Koperasi mengingat bahwa lokasi redistribusi tanah ini berbatasan langsung dengan Perkebunan Karet yang dikelola oleh Koperasi Produksi Perkebunan Karet Wangunwatie (KPPKW). Bahkan dalam sejarahnya tanah yang diredistribusikan tersebut merupakan bagian dari Perkebunan Karet Wangunwatie.
Mendasarkan pada  Surat Wakil Kepala Djawatan Perkebunan Kementrian Pertanian tertanggal 24 Mei 1951 No. E.1309/PKB, bahwa Perkebunan Wangunwatie ini seharusnya diurus oleh PPN, tetapi sehubungan dengan kondisi pada saat itu belum memungkinkan maka PPN belum dapat mengurusnya. Selanjutnya  mulai  tahun 1951, penguasaan atas bekas perkebunan Wangunwatie  dibagi menjadi tanah yang digarap bekas pegawai-pegawai  perkebunan seluas   462,153 Ha dan menjadi Tanah HGU milik KPPKW seluas 280,20 Ha. Kiranya tidak salah jika Koperasi Perkebunan Karet Wangunwatie mengambil langkah strategis dengan menginisiasi proses redistribusi tanah dimana para pemegang hak adalah sekaligus pendiri dan anggota koperasi yang bersangkutan.
            Dalam pelaksanaan redistribusi tanah selain peningkatan asset juga harus dibarengi dengan peningkatan akses terhadap obyek tanah tersebut. Akses ini sangat perlu diperhatikan oleh pemerintah, akan tetapi sebenarnya siapa pun dapat berperan serta dalam pemberian akses ini. Hal yang sangat menarik untuk disimak adalah peran Koperasi yang demikian besar dalam memberikan akses kepada penerima TOL. Beberapa peranan Koperasi Perkebunan Karet Wangunwatie adalah a) memberikan akses untuk turut mengelola Perkebunan Karet Wangunwatie, b) memberikan dorongan untuk memanfaatkan TOL dengan tanaman karet berikut memberikan modal bibit, pengetahuan, pemeliharaan dan bagi hasil yang sangat menguntungan masyarakat penerima TOL

2.      Saran
            Koperasi adalah sokoguru perekonomian yang berpihak kepada rakyat untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan. Pengelolaan tanah yang luas termasuk perkebunan besar hendaknya dapat diberikan kepada Koperasi. Mengingat apa yang disampaikan Bung Hatta mengenai ”Ekonomi Indonesia di Masa Depan” dimana dinyatakan prinsip-prinsip mengenai penataan masalah agraria di tanah air, maka berkenaan dengan perkebunan yang mempergunakan tanah luas, sebaiknya diatur sebagai koperasi di bawah pengawasan pemerintah, perlu untuk dikaji oleh pemerintah dewasa ini.
Penelitian ini kiranya perlu ditindaklanjuti dengan membuat model pengelolaan perkebunan melalui Koperasi terhadap tanah-tanah perkebunan yang sudah habis masa berlakunya atau tanah-tanah terlantar demi tanah untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat.



DAFTAR PUSTAKA
Endang, AS (2010) Program Kemitraan Perkebunan Karet KPPKW dan Petani di Wilayah Kabupaten Tasikmalaya, KPPKW, Tasikmalaya.
Harsono, Budi (2002) Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta.
Kartodirdjo, Sartono; Marwati Djoened Poesponegoro; Nugroho Notosusanto (1975) Sejarah Nasional Indonesia VI,  Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.
Subagyo, Tondo; Gunawan Sasmito (2004) Konsepsi dan Strategi Redistribusi Tanah di Indonesia, Ceramah Pertanahan, STPN, Yogyakarta.
Sumardjono, Maria SW (2008) Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
Tauchid, Mochammad (2009) Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia, STPN Press, Yogyakarta
Wiradi, Gunawan; Benjamin White (1984) Reforma Agraria Dalam Tinjauan Komparatif, Brighten Press, Bogor.
Wiradi, Gunawan (2009) Seluk Beluk Masalah Agraria Reforma Agraria dan Penelitian Agraria, STPN Press, Yogyakarta.

*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar