Jumat, 02 Desember 2011

PENGATURAN HAK ATAS TANAH DALAM HUKUM TANAH NASIONAL

Yudhi SetiawanÒ

abstractions

Rights domination of land is refer to authority, obligation and/or prohibition order for the right owner to do something to land. By using normative law method, this article wish to explain that something may, obliged and/ or prohibited to do is distinguishing measuring rod between various right domination of land which arranged in national land law.

Keywords: arrangement of land right, national land law.



Latar Belakang

Kewenangan negara yang berkaitan dengan tanah diatur dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 33 ayat (3) yang menentukan: bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan  sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Tanah adalah bagian dari bumi,  oleh sebab itu tanah dikuasai oleh negara. Berdasarkan uraian di atas, dapat dirinci bahwa  konsep ’dikuasai negara’ artinya negara  mengatur, negaralah yang mempunyai kewenangan mengelola dan mengatur tanah guna sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; dengan kata lain, pada tingkatan tertinggi negara yang berhak mengatur peruntukan dan pemanfaatannya.[1] Pengaturan oleh negara diperlukan karena kekhawatiran bahwa tanpa campur tangan negara akan terjadi ketidakadilan dalam akses terhadap perolehan dan pemanfaatan sumber daya alam oleh masyarakat. Ketegasan kewenangan demikian adalah wewenang yang diatribusikan dalam Undang-Undang Dasar, sehingga negara berhak untuk menuntut kepatuhan. Kewenangan inilah yang melahirkan otoritas negara atas tanah secara hukum publik;  dengan demikian kewenangan negara dalam  bidang pertanahan baru dapat diketemukan apabila didasarkan pada perluasan tafsir dari Pasal 33 ayat (3) UUD tahun 1945.
 Pengaturan hak atas tanah telah diatur dalam  Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria L.N. Tahun 1960 Nomor 104. Prinsip nasionalitas Undang-Undang ini memberi kewenangan yang sangat luas pada negara. Pasal 2 UUPA  menentukan:
Ayat (1) : atas dasar ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi seluruh rakyat Indonesia.

Ayat (2) : Hak Menguasai Negara dalam ayat (1) Pasal ini memberi wewenang untuk :
a.    mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, enggunaan   persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b.    menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c.    menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan hukum mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Ayat (3) : wewenang yang bersumber pada Hak Menguasai Negara tersebut pada ayat (2) Pasal ini digunakan untuk mendapatkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka berdaulat adil dan makmur.

Ayat (4) :   Hak Menguasai Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.

Ketentuan di atas bersifat imperatif, artinya suatu perintah kepada negara agar bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang diletakkan dalam penguasaan negara itu dipergunakan untuk mewujudkan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia; dengan demikian, tujuan dari penguasaan oleh negara atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk mengatur agar dapat mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia.
Berlakunya UUPA, membuat perubahan fundamental dalam hukum agraria di Indonesia terutama hukum di bidang pertanahan yang disebut hukum tanah atau lebih dikenal sebagai hukum agraria. Perubahan itu bersifat mendasar, baik mengenai struktur perangkat hukumnya, konsepsi yang mendasarinya ataupun isinya. Tanah mempunyai makna yang sangat strategis karena di dalamnya selain terkandung aspek fisik tetapi juga aspek sosial, ekonomi, budaya, agama, politik, pertahanan-keamanan, dan aspek hukum. Secara teoritis sumber daya tanah memiliki 6 (enam) jenis nilai, yaitu: (1) nilai produksi, (2) nilai lokasi, (3) nilai lingkungan, (4) nilai sosial, dan (5) nilai politik serta (6) nilai hukum.[2] Sumber daya tanah mempunyai nilai sempurna apabila nilai tanah mencakup ke-enam jenis nilai tersebut. Ketidaksempurnaan nilai tanah akan mendorong mekanisme pengalokasian tanah secara tidak adil dan tidak merata. Golongan masyarakat yang mempunyai dan menguasai akses cenderung memanfaatkan ketidaksempurnaan tersebut untuk kepentingannya. Untuk itu peran pemerintah di dalam mengelola sumber daya tanah sangat diperlukan. Peran tersebut tidak hanya terbatas pada upaya  untuk menyempurnakan mekanisme yang dapat mengalokasikan sumber daya tanah,  tetapi juga memerlukan suatu kelembagaan agar tanah dapat dimanfaatkan secara lebih sejahtera, adil dan merata. Dalam penyelenggaraan pengelolaan tanah khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan penguasaan dan hak-hak atas tanah  diperlukan lembaga pendaftaran tanah untuk memberikan kepastian hukum antara pemegang hak dengan tanah, peralihan hak tanah, hak tanggungan atas tanah, peralihan hak tanggungan. Lebih lanjut, pendaftaran tanah merupakan sumber informasi untuk membuat keputusan dalam pengelolaan pertanahan baik dalam penataan penguasaaan, pemilikan, penggunaaan dan pemanfaatan tanah. Mahfud MD[3] menjelaskan, selama pemerintahan Orde Baru fungsi sosial tanah telah menimbulkan persoalan-persoalan sosial dan politik yang mengusik kita sebagai bangsa. Ada peraturan yang tidak (dapat) dilaksanakan, ada juga overlap (tumpang tindih) antar lebih dari satu peraturan baik secara vertikal maupun horizontal. Adanya pendudukan kembali tanah-tanah masyarakat yang dulunya telah dibebaskan, seperti tanah peternakan Tapos dan tanah-tanah untuk fasilitas umum menunjukkan bahwa dulu ada kelemahan dari aspek hukum dalam penguasaannya. Berdasarkan uraian di atas yang menarik dan penting untuk dikaji dalam tulisan ini adalah Hak penguasaan atas tanah dalam hukum tanah nasional dan hak menguasai tanah dari negara.

Permasalahan
Berdasarkan uraian di atas, yang akan dikaji dan menjadi issu sentral dalam tulisan ini adalah:
a.    Hak penguasaan atas tanah dalam hukum tanah nasional.
b.    Hak menguasai tanah dari negara.
Kerangka Pemikiran
Pengertian “penguasaan” dapat dipakai dalam arti fisik, dan arti yuridis; juga beraspek perdata dan beraspek publik. Penguasaan yuridis dilandasi hak yang dilindungi oleh hukum dan memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihakinya. Dalam penguasaan yuridis, walaupun telah diberikan kewenangan untuk menguasai tanah yang dihaki secara fisik pada kenyataannya penguasaan fisiknya dapat dilakukan oleh pihak lain. Sebagai contoh pertama : tanah yang dimiliki disewakan kepada pihak lain dan penyewa yang menguasai secara fisik. Contoh kedua: tanah dalam penguasaan yuridis, tetapi dikuasai secara fisik oleh pihak lain tanpa alas hak yang sah. Dalam kedua contoh di atas, pemilik tanah berdasarkan hak penguasaan yuridisnya berhak untuk menuntut diserahkannya kembali tanah yang bersangkutan secara fisik kepadanya. Hak penguasaan atas tanah berisi serangkaian wewenang, kewajiban, dan atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki. Sesuatu yang boleh, wajib, atau larangan untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi kriterium atau tolok ukur pembeda di antara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam Hukum Tanah.[4] Pengaturan hak-hak penguasaan atas tanah dalam hukum tanah dibagi menjadi dua:
1.    Hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga hukum.
Hak penguasaan atas tanah ini belum dihubungkan dengan tanah dan orang atau badan hukum tertentu sebagai pemegang haknya. Ketentuan-ketentuan dalam hak penguasaan atas tanah, adalah sebagai berikut:
a.    memberi nama pada hak penguasaan yang bersangkutan;
b.    menetapkan isinya, yaitu mengatur apa saja yang boleh, wajib, dan dilarang untuk diperbuat oleh pemegang haknya serta jangka waktu penguasaannya;
c.    mengatur hak-hak mengenai subjeknya, siapa yang boleh menjadi pemegang haknya, dan syarat-syarat bagi penguasaannya;
d.    mengatur hal-hal mengenai tanahnya.
2.    Hak penguasaan atas tanah sebagai hubungan hukumnya yang konkret.
Hak penguasaan atas tanah ini sudah dihubungkan dengan tanah tertentu sebagai objeknya dan orang atau badan hukum tertentu sebagai subjek atau pemegang haknya. Ketentuan-ketentuan dalam hak penguasaan atas tanah, adalah sebagai berikut:
a.    mengatur hal-hal mengenai penciptaannya menjadi suatu hubungan hukum yang konkrit, dengan nama atau sebutan hak penguasaan atas tanah tertentu;
b.    mengatur hal-hal mengenai pembebanannya dengan hak-hak lain;
c.    mengatur hal-hal pemindahannya kepada pihak lain;
d.    mengatur hal-hal mengenai hapusnya;
e.    mengatur hal-hal mengenai pembuktiannya.[5]
Hirarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam UUPA dan hukum tanah nasional, adalah:
1.    Hak Bangsa Indonesia atas tanah.
2.    Hak menguasai dari negara atas tanah.
3.    Hak ulayat masyarakat hukum adat.
4.    Hak perseorangan atas tanah, meliputi:
a.    Hak-hak atas tanah.
b.    Wakaf tanah hak milik.
c.    Hak tanggungan.
d.    Hak milik atas satuan rumah susun.
Ketentuan-ketentuan yang beraspek publik meliputi bidang legislatif, bidang eksekutif/administratif dan bidang yudisial dimana kegiatannya dilakukan oleh negara sebagai badan penguasa. Bidang legislatif meliputi tugas/wewenang pembuatan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan. Bidang yudisial meliputi tugas kewenangan mengadili kasus-kasus pertanahan. Ketentuan-ketentuan di bidang eksekutif/administratif, yang dibuat justru untuk memberikan landasan hukum bagi penguasa eksekutif dalam melaksanakan politik pertanahan yang ditetapkan penguasa negara masing-masing. Bidang hukum tanah ini mempunyai fungsi dan peranan yang penting dan strategis bagi tercapainya tujuan politik pertanahan yang ditetapkan.
Ketentuan-ketentuan hukum tanah yang beraspek perdata mengatur hak-hak penguasaan atas tanah yang subyeknya perorangan dan badan-badan hukum perdata serta badan-badan hukum pemerintah yang menguasai tanah untuk keperluan memenuhi kebutuhan dan/atau melaksanakan tugasnya masing-masing. Ada hak-hak penguasaan atas tanah yang beraspek perdata, yang memberikan kewenangan kepada kreditor untuk menjual lelang tanah tertentu yang dijadikan agunan, jika dalam hubungan utang-piutang tertentu debitor cidera janji, kreditor berwenang untuk mengambil seluruh atau sebagian hasil pelelangan guna melunasi piutangnya, dengan hak mendahulu daripada kreditor-kreditor lain. Hak penguasaan ini kita sebut hak jaminan atas tanah.[6]

Hak Penguasaan Atas Tanah Dalam Hukum Tanah Nasional
Dalam rangka membangun hukum tanah nasional, hukum adat merupakan sumber utama untuk memperoleh bahan-bahannya, baik berupa konsepsi, asas-asas dan lembaga-lembaga hukumnya untuk dirumuskan menjadi norma-norma hukum tertulis yang disusun menurut  hukum adat. Hukum tanah baru yang dibentuk dengan menggunakan bahan-bahan dari hukum adat, berupa norma-norma hukum yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan sebagai hukum yang tertulis merupakan hukum tanah nasional positif. UUPA merupakan hasilnya yang pertama. Fungsi hukum adat sebagai sumber utama dalam pembangunan hukum tanah nasional inilah yang dimaksudkan dalam konsideran UUPA, bahwa hukum tanah nasional “berdasarkan” atas hukum adat. Konsepsi yang mendasari hukum tanah nasional adalah konsepsinya hukum adat, yaitu konsepsi yang: komunalistik religius, yang memungkinkan penguasa tanah secara individual, dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsur kebersamaan.[7] Sifat komunalistik religius dari konsepsi hukum tanah nasional sesuai dengan ketentuan pasal 1 ayat (2) UUPA adalah:
“Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai Karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah bumi, air dan ruang  angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional”.

Dalam rangka hukum tanah nasional, dimungkinkan para warga negara Indonesia masing-masing menguasai bagian-bagian dari tanah bersama tersebut secara individual, dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsur kebersamaan. Unsur kebersamaan tersebut sesuai dengan ketentuan pasal 6 UUPA yaitu “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”. Penggunaan norma-norma hukum adat sebagai pelengkap hukum tanah yang tertulis tersebut bukanlah tanpa syarat. Norma-norma hukum tersebut berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan UUPA (pasal 56 dan 58). Pasal 5 bahkan memberikan syarat yang lebih rinci, yaitu sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-Undang ini dan dengan peraturan-peraturan perundangan lainnya. Ketentuan hukum tanah tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara. Hukum tanah justru harus mengabdi pada kepentingan nasional dan negara. Kepentingan nasional dan negara harus ditempatkan di atas kepentingan golongan dan daerah, apalagi kepentingan perorangan. Contoh ketentuan hukum adat yang bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan persatuan bangsa dapat dilihat di dalam penjelasan umum angka II ke 3 dalam hubungannya dengan pelaksanaan hak ulayat. Hak ulayat adalah hak dari suatu masyarakat hukum adat atas lingkungan tanah wilayahnya yang memberi wewenang tertentu kepada penguasa-penguasa adat untuk mengatur dan memimpin penggunaan tanah di wilayah masyarakat hukum tersebut. UUPA mengakui hak ulayat tetapi tidak membenarkan apabila berdasarkan kekuasaannya sebagai pelaksana hak ulayat, penguasa-penguasa adat menghalang-halangi atau merintangi usaha-usaha pemerintah untuk mencapai kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya. Karena UUPA merupakan peraturan dasar hukum tanah nasional, dengan sendirinya tidak boleh ada peraturan hukum tanah baik tertulis maupun tidak tertulis yang bertentangan dengan ketentuan UUPA. Salah satu contoh ketentuan penting dalam UUPA adalah bahwa tiap-tiap warganegara Indonesia mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah. Ketentuan hukum adat di sementara daerah yang hanya memberi kemungkinan kepada anggota-anggota masyarakat hukumnya sendiri untuk mempunyai tanah dengan hak milik adalah bertentangan dengan ketentuan UUPA dalam pasal 9 ayat 2. Pasal ini memuat ketentuan bahwa dalam hal pemilikan tanah tidak diadakan perbedaan antara laki-laki dan wanita. Hukum adat di sementara daerah yang tidak memungkinkan orang-orang wanita ataupun orang-orang laki-laki mempunyai tanah dengan hak milik misalnya, akan bertentangan dengan ketentuan UUPA. Pasal 53 UUPA mengharuskan diadakannya peraturan mengenai hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian untuk menghilangkan unsur-unsurnya yang bersifat pemerasan. Berlakunya peraturan-peraturan tersebut ketentuan-ketentuan hukum adat yang bertentangan dengan itu menjadi tidak berlaku lagi. Dalam pengertian fungsi dan kedudukan hukum adat sebagai hukum yang melengkapi hukum tanah positif yang tertulis, hukum adat tidak berada diluar atau berhadapan ataupun bertentangan dengan hukum tanah nasional. Norma-norma hukum adat merupakan bagian dari hukum tanah nasional yaitu merupakan bagiannya yang tidak tertulis. Sepanjang hal-hal yang semula diatur oleh hukum adat kemudian mendapat pengaturan baru dalam peraturan perundang-undangan, hukum adat telah terserap di dalamnya. Dengan kata lain, dalam hal pembentukan hukum tanah yang baru itu bersumber (mengambil bahan-bahannya) dari hukum adat. Dengan berkembangnya hukum tanah yang baru, dengan sendirinya ruang lingkup hukum adat menjadi berkurang. Dalam Penjelasan Umum I dinyatakan  3 tujuan pokok UUPA yaitu:
1.    Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur;
2.    Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan;
3.    Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa peletakkan dasar-dasar bagi ketiga bidang tersebut merupakan  penjelmaan sila-sila Pancasila. Kelima Sila Pancasila tersebut diwujudkan dalam ketentuan-ketentuan pokok UUPA. Dengan demikian penyusunan hukum tanah nasional didasarkan pada konsep Hukum Adat.
Hak Menguasai Tanah dari Negara
Hak menguasai dari negara atas tanah bersumber pada hak bangsa Indonesia atas tanah, yang hakikatnya merupakan penugasan pelaksanaan tugas kewenangan bangsa yang mengandung unsur hukum publik.[8] Tugas mengelola seluruh tanah bersama tidak mungkin dilaksanakan sendiri oleh seluruh Bangsa Indonesia, maka dalam penyelenggaraannya bangsa Indonesia sebagai pemegang hak dan pengemban amanat tersebut, pada tingkatan tertinggi dikuasakan kepada Negara Republik Indonesia sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat (pasal 2 ayat (1) UUPA). Negara sebagai organisasi kekuasaan “mengatur” dan kemudian “menyelenggarakan” artinya melaksanakan (execution) atas penggunaan/peraturan (use), persediaan (reservation) atas pemeliharaannya (maintenance) dari bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Juga untuk menentukan dan mengatur (menetapkan dan membuat peraturan-peraturan) hak-hak apa saja yang dapat dikembangkan dari hak menguasai dari negara tersebut.[9] Wewenang agraria dalam UUPA ada pada pemerintahan pusat; pemerintah daerah tidak boleh melakukan tindakan kewenangan agraria jika tidak ditunjuk atau mendapat delegasi kewewenangan dari pemerintah kepada: daerah-daerah otonom; lembaga pemerintahan; departemen tertentu; atau kepada masyarakat hukum adat. Wewenang hak menguasai dari negara atas tanah sesuaiketentuan dalam pasal 2 ayat (2) UUPA:
a.    mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan tanah;
b.    menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan tanah;
c.    menentukan dan mengatur hubungan-hugungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai tanah.

Hak menguasai dari negara meliputi seluruh bumi, air dan ruang angkasa di wilayah Negara Republik Indonesia, baik yang:
a.    di atasnya sudah ada hak-hak perorangan/keluarga, apapun nama hak itu,
b.    di atasnya masih ada hak ulayat dan hak-hak semacam itu, apapun nama hak tersebut,
c.    di atasnya tidak ada hak-hak tersebut sub a dan b, dan/atau sudah tidak ada pemegang hak-hak tersebut. (misalnya bekas tanah swapraja, tanah bekas hak-hak barat, tanah tak bertuan, hutan Negara dan lain-lain sebagainya).[10]  

Hak menguasai dari negara yang meliputi tanah dengan hak-hak perorangan bersifat pasif. Hak menguasai dari negara menjadi aktif, apabila tanah tersebut dibiarkan tidak diurus/diterlantarkan.[11] Hak menguasai dari negara atas tanah yang tidak dipunyai oleh perorangan/keluarga dengan hak apapun dan masih belum dibuka, bersifat aktif. Hal ini berarti bahwa setiap kali apabila negara memerlukan tanah untuk keperluan pembangunan dan penyebaran penduduk, pemerintah dapat membuka tanah tersebut dengan memperhatikan hak ulayat suatu masyarakat hukum apabila itu masih ada di atasnya. “Misalnya didalam pemberian suatu hak atas tanah (umpamanya guna usaha) masyarakat hukum yang bersangkutan sebelumnya akan didengar pendapatnya dan akan diberi “recognitie” yang memang ia berhak menerimanya selaku pemegang hak ulayat itu”.[12]  Hak menguasai negara meliputi bumi, air dan ruang angkasa, jadi baik yang sudah ada hak seseorang maupun yang tidak/belum ada. Kekuasaan negara mengenai tanah yang sudah dipunyai orang dengan sesuatu hak dibatasi oleh isi daripada hak itu, artinya sampai seberapa jauh negara memberi kekuasaan kepada yang mempunyai hak untuk menggunakan haknya, sampai disitulah batas kekuasaan negara tersebut. Hak menguasai dari negara selain pembatasan yang dibuat oleh pasal 2 ayat 2 UUPA dapat dikonstruksikan dalam pengertian politis yaitu:[13]
a.    konstatasi hak seseorang atau badan yaitu melalui lembaga konversi atas tanah-tanah eks B.W. dan eks hukum adat atas tanah-tanah yang dikuasai oleh pemerintah daerah otonom ataupun yang dikuasai oleh lembaga-lembaga pemerintahan;
b.    memberikan hak-hak baru yang ditetapkan oelh UUPA seperti hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai dan hak pengelolaan;
c.    mengesahkan sesuatu perjanjian yang diperbuat antara seseorang pemegang hak milik dengan orang lain untuk menimbulkan suatu hak lain di atasnya, seperti yang kita kenal hak guna bangunan di atasnya hak milik dan hak pakai di atas hak milik (pasal 19 PP. 10/1961).
Hak Menguasai dari negara sebagai organisasi kekuasaan itu untuk:
a.    memberikan hak-hak keperdataan, baik kepada perorangan ataupun badan-badan hukum privat, seperti Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai;
b.    mengakui suatu hukum publik yang sudah ada sebelummnya, seperti Hak Ulayat masyarakat-masyarakat hukum adat (pasal 3 UUPA);
c.    memberikan hukum publik yang baru, yaitu Hak Pengelolaan yang diberikan kepada lembaga-lembaga pemerintahan ataupun perusahaan-perusahaan negara/daerah. Dari hak pengelolaan itu dapat diberikan oleh pemegang Hak Pengelolaan ini Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai, dan akhirnya dari Hak Menguasai dari Negara ini;
d.    dapat diberikan Hak Pakai (khusus) yaitu hak pakai yang tidak terbatas waktunya dan diberikan untuk pelaksanaan tugasnya, seperti Hak Pakai untuk perwakilan negara-negara asing, untuk kepentingan lembaga pemerintahan (seperti untuk bangunan pendidikan dan sebagainya) dan untuk kepentingan sosial dan agama.[14]
Hak menguasai dari negara tidak dapat dipindahkan kepada pihak lain. Tetapi tanah yang dikuasai negara dapat diberikan dengan sesuatu hak atas tanah kepada pihak lain. Pemberian hak atas tanah yang dikuasai negara kepada seseorang atau badan hukum bukan berarti melepaskan hak menguasai tersebut dari tanah yang bersangkutan. Tanah tersebut tetap berada dalam penguasaan negara.  Penguasaan dan penggunaan tanah yang dilandasi hak tersebut dilindungi oleh hukum. Bukan saja terhadap gangguan dari sesama warga, tetapi juga terhadap gangguan dari penguasa sekalipun jika gangguan tersebut tidak ada dasar hukumnya. Untuk menanggulangi gangguan tersebut disediakan sarana penanggulangannya melalui gugatan perdata pada peradilan Umum atau melalui tindakan administratif dan pidana berdasarkan Undang-undang nomor 51/Prp/1960. Hak pengelolaan dalam sistematika hak-hak penguasaan atas tanah tidak dimasukkan dalam golongan hak-hak atas tanah. Pemegang hak pengelolaan memang mempunyai kewenangan untuk menggunakan tanah yang dihaki bagi keperluan usahanya. Dalam penyediaan dan pemberian tanah pemegang haknya diberi kewenangan untuk melakukan kegiatan yang merupakan sebagian dari kewenangan negara. Bagian-bagian tanah hak pengelolaan tersebut dapat diberikan kepada pihak lain dengan Hak Milik, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai, pemberiannya dilakukan oleh Pejabat Badan Pertanahan Nasional yang berwenang.

Kesimpulan
1.    Hak penguasaan atas tanah adalah wewenang, kewajiban dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu atas tanah yang dihaki. Sesuatu yang boleh, wajib dan/atau dilarang untuk diperbuat merupakan tolok ukur pembeda antara berbagai hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam hukum tanah nasional.
2.    Hak menguasai dari negara dan segala wewenang yang timbul karenanya, tidak bertentangan dengan hak ulayat dan hak-hak serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, tetapi merangkum semua hak ulayat serta hak-hak atas tanah dan air menurut hukum adat sejauh masih ada yang tidak bertentangan dengan prinsip persatuan bangsa, kepentingan nasional dan Negara. Hak menguasai dari Negara meliputi semua tanah yang ada dalam wilayah Republik Indonesia, baik tanah-tanah yang tidak atau belum maupun yang sudah dihaki dengan hak-hak perorangan. Tanah-tanah yang tidak atau belum dihaki dengan hak-hak perorangan dalam UUPA disebut tanah-tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, yang dalam administrasi pertanahan disebut tanah negara.  


DAFTAR BACAAN
Buku :
Adhie, Brahmana dan Hasan Basri Nata Menggala, 2002, Reformasi Pertanahan, Mandar Maju, Bandung.

Harsono, Boedi, 2003, Hukum Agraria Indonesia, Djambatan, Jakarta.

Parlindungan, A.P., 1998, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Mandar Maju, Bandung.

Santoso, Urip, 2006, Hukum Agraria & Hak-Hak Atas Tanah, Kencana, Jakarta.

Soetiknjo, Imam, 1994, Politik Agraria Nasional, Gajah Mada University Press, Jogjakarta

Websites :
http://www.bpn.go.id/engine/contentmayor.


Ò Data penulis :
        Yudhi Setiawan, BPN-PROV.BALI, Doktor Ilmu Hukum Univ.Airlangga.
[1] Yudhi Setiawan (1), Instrumen Hukum Campuran (Gemeenschapelijkrecht) Dalam Konsolidasi Tanah, P.T. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009, h.45
[2] Lihat http://www.bpn.go.id/engine/contentmayor.
[3] Mahfud MD, Hasil Seminar Nasional Tentang “Reformasi Pertanahan”, Mandar Maju, cet. I, Yogyakarta 2002, hal. 25
[4] Pendapat Boedi Harsono, dikutip Urip Santoso dalam Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, cet. II, Kencana, Jakarta 2006, hal. 74.
[5] Ibid, h. 74-75.
[6] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I, Djambatan, Jkt 2003, h. 30.
[7] Ibid, hal. 206.
[8] Urip Santoso, Hukum Agraria & Hak-Hak Atas Tanah, Kencana, Cet. II, Jakarta 2006, hal. 77.
[9] A.P. Parlindungan, Komentar atas Undang-Undang Pokok Agraria, Mandar Maju, Bandung 1998, hal. 44.
[10] Imam Soetiknjo, Politik Agraria Nasional, Gajah Mada University Press, Cet 4, Jogjakarta 1994, hal. 52-53.
[11] Ibid, h. 53.
[12] Penjelasan UUPA II No. 3.
[13] A.P. Parlindungan, Op. Cipt. h. 45.
[14] Ibid, hal 46.

DIMENSI KEPEMIMPINAN DALAM KOPERASI PENATAKELOLA SUMBERDAYA AGRARIA (Pengalaman Koperasi Perjuangan Wangunwatie Karangnunggal Tasikmalaya)

Oleh:
Deden Dani Saleh*

Abstract
The mechanism of delivery system in the concept of agrarian reform one of them is control over land rights by a legal entity in the form of cooperatives. For local scope, the initiative forming cooperative business entity that comes from below will have an effective contribution. Kinship system that became the basis of the cooperative system will very easily be adopted by rural communities which are basically family. To launch the cooperatives applying so, amid intensified capitalist climate, leadership in cooperative management is needed.Simak
Baca secara fonetik

Through qualitative research methods with a naturalistic approach, various interesting facts from the leadership in the management of cooperatives at the Cooperative Plantation Sub Karangnunggal Wangunwatie Tasikmalaya District, opened and parsed. Thus very suitable method to determine the words and actions of everyday people, especially Wangunwatie Village community that relate directly to Cooperative Plantation Wangunwatie
In an increasingly rampant capitalist climate currently a cooperative enterprise requires a strong leader. Strong leader in the point of view of agrarian reform is a leader who has vision and can embody article agrarian land for at-large for the prosperity of the people and not be diverted for the benefit of a second. This condition is one fact that the study found. Obstacles faced related to the Cooperative leadership cadre Wangunwatie is not running so that the next strong leader who did not get born again.
Keywords: Cooperation, Leadership


A.    PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Indonesia adalah negara agraris. Itu sudah menjadi pengetahuan kita sejak lama. Akan tetapi, saat ini, sepertinya hal itu hanyalah jargon yang sudah tidak cukup memberikan motivasi kepada kita untuk menjadikan negara ini menjadi negara agraris. Hingga saat ini belum ada istilah baru untuk menggantikan itu. Indonesia belum berubah menjadi negara industri. Bahkan jargon yang sekarang semakin mencuat adalah istilah ‘Indonesia negeri ironi’[1]. Istilah ini ada karena kita berusaha menyangkal atau berusaha kuat merubah istilah negara agraris yang pada dasarnya menjadi fondasi bangsa ini menjadi istilah lain yang sesungguhnya belum mungkin dirubah.
Persoalan seperti apa yang terjadi pada negara agraris ini? Sepertinya kita sudah melihat begitu banyak data dan fakta yang membawa kita kepada pengetahuan bahwa petani kita yang seyogyanya menjadi raja karena negara kita negara agraris ternyata menjadi ‘kacung’ yang begitu terpinggirkan, terbelakang, dan sangat miskin. Mengapa bisa demikian?[2] Karena dinamika perkembangan yang dialami bangsa ini ternyata telah melahirkan struktur yang membawa mereka kepada jurang ketidakberdayaan. Bagaimana kita harus mengatasi ini? Reforma agraria adalah jawaban yang tepat karena melalui konsep ini perombakan struktur yang meminggirkan, menerbelakangkan, dan memiskinkan diharapkan terjadi.
Konsep reforma agraria sebagaimana dikatakan Joyo Winoto (Kepala Badan Pertanahan Nasional) adalah konsep yang bukan hanya menawarkan penyediaan tanah, melainkan juga membuka akses petani (terutama petani miskin) pada sumber-sumber ekonomi. Setelah memiliki aset yang memadai, kemudian akses petani terhadap rangkaian tata produksi mulai dibangun serta diperkuat. Kedua hal ini betul-betul harus terjadi dan berjalan secara harmonis. Tujuan tidak akan tercapai apabila salah satu sisi tersebut tidak bisa dipenuhi. Bahkan, bukan hanya satu sisi, satu komponen saja dalam sisi akses, akan memincangkan jalannya reforma agraria.
Kemudian, efek selanjutnya yang diharapkan setelah dua hal ini bertaut sangat kuat adalah terjadinya pembebasan. Pembebasan dari kebodohan, ketertinggalan, ketertindasan, sempitnya ruang gerak kehidupan, ketergantungan, dan rasa takut. Mengapa? Karena, kebijakan ini difokuskan pada empat prinsip: (1) pertanahan harus berkontribusi secara nyata pada peningkatan kesejahteraan rakyat dan pelahiran sumber-sumber kemakmuran rakyat yang baru, (2) pertanahan harus berkontribusi secara nyata pada peningkatan tatanan kehidupan bersama yang lebih berkeadilan dalam kaitannya dengan pemanfaatan, penggunaan, penguasaan, dan pemilikan tanah, (3) pertanahan harus berkontribusi secara pada keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan Indonesia, dan (4) pertanahan harus berkontribusi secara nyata pada penciptaan tatanan kehidupan bersama secara harmonis dengan mengatasi berbagai sengketa dan konflik. 
Dalam kaitan itu semua, terdapat satu pelajaran yang menarik yang dapat kita angkat sebagai suatu contoh bagus tentang salah satu praksis reforma agraria yang hadir didekat kita. Contoh bagus ini kami dapatkan dari suatu desa di sebelah selatan Tasikmalaya. Desa ini namanya Sukawangun. Di desa ini terdapat sebuah badan usaha koperasi yang bernama Koperasi Perjuangan Wangunwatie. Koperasi Wangunwatie sidah berdiri sejak lama dan ia bisa bertahan hingga sekarang. Ditengah iklim kapitalis yang semakin merebak, tidak mudah bagi sebuah badan usaha yang berbentuk koperasi yang berada di pedesaan dan yang dipimpin oleh warga asli untuk tetap survive. Untuk tetap memiliki eksistensi, suatu badan usaha koperasi, memerlukan pimpinan yang dapat menjabarkan sistem dasar koperasi. Berbagai fakta serta dinamika yang terjadi berkaitan dengan kepemimpinan dalam kepengurusan koperasi akan dipaparkan dalam tulisan selanjutnya.

2.      Tinjauan Pustaka
a.       Reforma Agraria
Menurut Joyo Winoto, benang merah reforma agraria harus dimaknai sebagai penataan atau penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah (P4T)  surnber-sumber agraria menuju suatu struktur P4T yang berkeadilan yang langsung mengatasi akar persoalan. Kemudian, bila dikembangkan, P4T tersebut harus bisa: (a) restrukturisasi penguasaan aset tanah yang berkeadilan (equity); (b) meningkatkan kesejahteraan berbasis keagrariaan (welfare); (c) memanfaatkan tanah dan faktor produksinya secara optimal (efficiency); (d) membuat suatu keberlanjutan (sustainability); dan (e) dapat menyelesaikan sengketa tanah (harmony)[3]. Selama ini, akar persoalan dibidang pemanfaatan sumber-sumber agrarian atau bahkan sumber-sumber ekonomi yang lain adalah keadilan. Inilah yang menurut penulis nilai moral tertinggi yang dimiliki oleh reforma agrarian. Bila keadilan sebagai nilai moralitas tertinggi ini dapat dicapai melalui berbagai pelaksanaan yang efisien dipastikan bahwa masyarakat ini akan berjalan berkelanjutan secara harmonis.
Sementara itu, bentuk delivery system reforma agraria sebagaimana pula dikemukakan Joyo Winoto adalah: (1) mendekatkan objek ke tempat subjek. Melalui cara ini, tanah dari daerah yang surplus tanah atau tidak padat penduduknya didekatkan ke daerah yang minus tanah, padat penduduknya, dan dekat dengan penerima manfaat; (2) mendekatkan subjek ke tempat letak objek. Dalam model ini calon penerima manfaat (subjek) berpindah secara sukarela ke lokasi tanah yang tersedia;. (3) subjek dan objek di satu lokasi yang sama. Model ini berlaku pada keadaan ketika subjek dan objek bcrada di lokasi yang sama. Dalam tataran praktis, masyarakat yang menjadi kelompok prioritas seperti penduduk di suatu wilayah atau petani gurem akan mendapat injeksi tanah ncgara. Setelah itu, dibuka akses terhadap berbagai hal yang memungkinkan mereka meningkatkan kesejahteraannya, seperti teknologi, modal, pasar, serta keterampilan.[4] Dalam konsep ini, terlihat cara pengaturan cara subyek kebijakan ini menguasasi obyek. Pemerintah mencoba melakukan stimulir pada persoalan penguasaan tanah yang selama ini dirasa tidak ter-delivery secara rapi. Setelah itu, pengusahaan atas tanah-tanah yang telah dikuasasi subyek tersebut distimulasi kembali dengan teknologi, modal, serta psar yang berpihak pada subyek. Konsep ini tentunya memerlukan dedikasi serta keterlibatan banyak stakeholder dan persoalan akan terjadi manakala stakeholder diharuskan berkoordinasi.
Selanjutnya, penguasaan serta pengusahaan pada dasarnya dapat diselenggarakan melalui tiga alternatif, yaitu: penguasaan hak atas tanah secara perseorangan, penguasaan hak atas tanah secara bersama, dan penguasaan hak atas tanah badan usaha atau koperasi. Penguasaan hak aats tanah badan usaha atau koperasi dapat dilakukan dengan mengusahakan sendiri, melalui kontrak profit sharing, dan kontrak manajemen. Ketiga cara ini tentunya memiliki kekhasan masing-masing.

b.      Kepemimpinan
Kepemimpinan (leadership) adalah istilah umum yang dapat didefinisikan sebagai kualitas yang membuat seseorang dapat memerintah orang lain. Ini mengimplikasikan bahwa kepemimpian pada dasarnya adalah hubungan mutual antara pemimpin dengan yang dipimpin atau individu dan kelompok. Istilah ini juga menunjukkan tindakan: pemimpin dan kelompok melakukan sesuatu secara bersama-sama. Terakhir, kepemimpinan jelas merupakan relasi berbasis persetujuan bukan paksaan.[5] Jadi, jelaslah, bahwa kepemimpinan tersebut menyangkut orang, hubungan antar orang serta sebuah lembaga yang dijadikan tempat bagi berlangsungnya interaksi.
Untuk mengelaborasi kepemimpinan terdapat dua pendekatan dan dua pendekatan ini bertentangan. Studi kepemimpinan klasik terutama difokuskan pada personalitas tokoh besar, menggambarkan mereka sebagai tokoh unik dan heroik yang mampu mengubah pengikut mereka cukup dengan kekuatan kehendak mereka. Sementara itu, pendekatan lain, berfokus pada kebutuhan, struktur kelompok, konteks, dan dinamika antara pemimpin dengan pengikutnya. Menurut pandangan ini, pemimpin adalah fungsi interaksi kepribadian dengan situasi sosial. Beberapa studi menunjukkan bahwa pemimpin bukan orang yang penuh keluarbiasaan, tetapi lebih sering merupakan golongan orang biasa yang mampu melakukan inovasi.[6] Dari dua pendekatan ini, penulis mengambil kesimpulan bahwa pemimpin tersebut adalah orang yang memiliki ide-ide cemerlang. Orang ini bisa saja dilahirkan atau dibentuk oleh suatu komunitas.
Gaya kepemimpinan yang mudah dikenali adalah gaya otoriter dan gaya demokratis[7]. Gaya otoriter adalah gaya kepemimpinan dengan cara menumbuhkan kepatuha luar bisa dari para pengikutnya. Kharisma yang dimiliki seseorang dimanfaatkan untuk dapat memerintah dan mencapai tujuan. Pengikut dalam kondisi ini seringkali bukan saja takut untuk mengemukakan pendapat akan tetapi dihinggapi rasa takut. Sementara itu, dilain sisi, gaya demokratis adalah gaya kepemimpinan yang lebih membumi saat ini. Paling tidak gaya seperti ini yang selalu diharapkan masyarakat modern. Kepemimpinan semacam ini diinginkan sebab rasa kemanusiaan para pengikutnya dapat diakomadasi. Nilai-nilai para anggota tidak terlukai. Akan tetapi gaya ini juga bermasalah ketika keputusan harus segera diambil. Seringkali keputusan tidak pernah dapat diambil sebab suara individu dipastikan akan berbeda. Perpaduan dua gaya ini mungkin akan sangat mujarab. Permasalahannya adalah kadar perpaduannya yang seringkali tidak mudah dilakukan
Robert Bales berpendapat bahwa beberapa kelompok menghasilkan pemimpin penting yang kemampuannya untuk memerintah didasarkan pada kualifikasi kemampuan dan keahlian, ada kelompok yang lebih ekspresif, membangkitkan partisipasi emosional komunitas. “Tugas” pemimpin disini adalah menjaga kelompok agar tetap menjadi sebuah kelompok. Mereka yang berkuasa tidak selalu dianggap pemimpin, beberapa diantara mereka adalah “kepala” yang kekuasaannya didasarkan pada posisinya dalam struktur hierakhi.[8]
Para pengikut juga dibedakan berdasarkan beberapa alasan: ada pengikut yang mematuhi pemimpin karena ingin mendapat keuntungan, yang lainnya karena percaya pada kemampuan pemimpin, dan ada yang suka pada pemimpin.[9] Tiga kelompok ini bisa jadi ada dalam satu komunitas yang dipimpin oleh seseorang. Perpaduan ketiganya menghasilkan corak sebuah organisasi. Dinamika yang terjadi dalam sebuah organisasi inilah yang dipengaruhi oleh karakter individu yang dipimpin. Ketiga karakter ini bukan sebagai sebuah kebaikan atau keburukan sebab pada diri masing-masing individu, kepentingan yang ingin diakomodasi adalah berbeda.

3.      Metode Penelitian
Conny R. Semiawan dalam sambutan buku metodologi penelitian karya Lexy J. Moleong mengatakan bahwa penelitian kualitatif berangkat dari paradigma fenomenologis yang obyektivitasnya dibangun di atas rumusan situasi yang dihayati individu atau kelompok sosial tertentu yang bertujuan memahami situasi tertentu.[10] Penelitian ini juga berangkat dari paradigma seperti demikian. Ia ingin memahami situasi yang dihayati oleh individu atau kelompok. Melalui penelitian ini, peneliti berharap dapat menggambarkan kejadian atau fenomena yang dialami oleh individu atau kelompok.
Pencarian kebenaran yang akan dijadikan pengetahuan manusia dilakukan melalui bermacam-macam model atau paradigma. Paradigma yang dominan digunakan pada masyarakat ilmiah adalah paradigma ilmiah dan paradigma alamiah (naturalistik).[11] Paradigma naturalistik atau yang lebih dikenal dengan pendekatan kualitatif yang dalam operasionalisasinya menekankan pada operasi pencarian pengetahuan yang berbentuk penggalian pengetahuan baru dari kompleksitas tatanan komunitas ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Pendekatan naturalistik atau kualitatif diambil karena penelitian bertujuan untuk memahami berbagai kondisi yang terjadi pada individu sebagai unit analisis termasuk didalamnya berbagai pemikiran yang diyakini unit analisis penelitian berkenaan dengan pemilikan tanahnya. Pemahaman akan berbagai kondisi riil hingga kerangka berpikir dan bertindak orang-orang atau masyarakat yang terjadi sebagai bentuk kompleksitas tatanan masyarakat yang sudah ada dicoba digali melalui pendekatan seperti ini. Keberadaan sebuah fenomena atau gejala di masyarakat yang tidak terhitung jumlah dan kompleksitasnya tidak memungkinkan hanya dilihat secara positivistik. Upaya melihat secara komprehensif suatu fenomena atau gejala tersebut dapat diakomodasi melalui penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif atau naturalistik seperti ini.
Apa yang dicari untuk bisa menggambarkan fenomena obyektif? Kata-kata dan tindakan.[12] Kata-kata dan tindakan orang-orang yang diamati atau diwawancarai merupakan sumber data utama. Sumber data utama dicatat melalui catatan tertulis atau melalui perekaman. Pencatatan sumber data utama melalui wawancara atau pengamatan berperanserta merupakan hasil usaha gabungan dari kegiatan melihat, mendengar, dan bertanya yang paling efisien dalam teknik penelitian ini. Kegiatan melihat, mendengar, atau bertanya merupakan kegiatan yang dilakukan tidak sekaligus. Masing-masing kegiatan diadakan untuk menutupi kelemahan teknik pencarian data tersebut manakala kondisi subyek penelitian tidak dimungkinkan untuk dikenai salah satu perlakuan.
Kemudian, teknik pengambilan data dilakukan melalui pengamatan berperanserta yang dalam hal ini merupakan ciri khas teknik pengambilan data dalam penelitian kualitatif. Dalam penelitian ini, peneliti sendiri dan dengan bantuan orang lain merupakan alat pengumpul data yang utama. Kegiatan bertanya dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik wawancara mendalam. Wawancara biasanya dilakukan antara dua orang yakni pewawancara dengan yang diwawancara. Maksud wawancara, sebagaimana Lincoln dan Guba (1985:266)[13] adalah untuk mengkonstruksi orang, kejadian, kegiatan, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian dan lain-lain kebulatan; merekonstruksi kebulatan-kebulatan sebagai yang telah dialami pada masa lalu; memproyeksikan kebulatan-kebulatan yang diharapkan untuk dialami pada masa yang akan datang; memverifikasi, mengubah, dan memperluas informasi yang diperoleh orang lain.

B.     KOPERASI SEBAGAI AGEN TATA KELOLA SUMBER DAYA AGRARIA
1.      Sejarah Singkat Koperasi Wangunwatie
Perkebunan karet dan teh milik sebuah perusahaan Jerman yang diusahakan mulai tahun 1908 terletak di daerah yang masuk Kecamatan Karangnunggal dan Cibalong Tasikmalaya Selatan Jawa Barat dengan nama “STRAAT SUNDA SYNDICAAT NV CULTUUR MIJ WANGUNWATIE” adalah cikal bakal terbentuk dan usahanya sebuah koperasi yang eksis sampai sekarang. Dulu, perkebunan ini milik seorang pengusaha berkebangsaan Jerman. Pada masa itu, orang-orang Eropa tengah giat-giatnya mengembangkan usaha pada wilayah-wilayah koloni hasil penaklukan-penaklukan dan daerah subur seperti Jawa Barat bagian Selatan. Daerah ini merupakan tujuan utama para pengusaha Eropa tersebut.
Sejalan dengan terjadinya pergolakan dunia, pada tahun 1940 ketika Belanda diserang Jerman dan terjadinya Perang Dunia II dan Indonesia pun dijajah Jepang antara tahun 1942-1945, Perkebunan Wangunwatie dikelola oleh pengelola yang berganti-ganti. Dari tangan pengusaha Jerman berpindah pengelolaan kepada Pemerintahan Belanda dan selanjutnya berpindah tangan kepada pemerintah pendudukan Jepang. Pada waktu pemerintahan pendudukan Jepang seluruh kebun teh dihancurkan. Pada masa kemerdekaan Indonesia, pada aksi Belanda I (1947) para pejuang RI membumihanguskan Perkebunan Wangunwatie sehingga yang tertinggal adalah sebagian kecil kebun karet saja (maksudnya agar tidak dikuasai oleh Pemerintah Belanda). Jadi wilayah perkebunan ini telah mengalami dua kali pembumihangusan.
Pada tanggal 2 Agustus 1950, atas anjuran Pemerintah Republik Indonesia, sisa-sisa Perkebunan Wangunwatie kembali dikelola/diusahakan oleh para mantan buruh yang masih ada di lokasi perkebunan dengan cara bergotongroyong yang dipimpin oleh Bapak A. Wasyidi, dkk. Untuk memperkuat kedudukan perusahaan perkebunan Wangunwatie dibentuklah suatu organisasi/badan kerjasama para buruh dengan nama DPKW (Dewan Penyelenggara Kebun Wangunwatie). Selanjutnya, berdasarkan hasil musyawarah para anggota DPKW tanggal 2 Mei 1952 secara resmi berdirilah sebuah koperasi dengan nama Koperasi Buruh Perkebunan Wangunwatie (KBPW) dengan bidang usaha perkebunan karet dan teh di atas areal kurang lebih 280,20 hektar. Pada waktu itu KBP Wangunwatie bermodalkan tanaman karet yang tersisa dilokasi seluas 100 hektar (sisa dari pem-bumihangusan pada masa aksi Belanda I). Pada tanggal 6 April 1959, KBP mendapat Badan Hukum dengan Nomor 2108.
Sejak berdiri sampai sekarang para pengurus dan anggotanya terus berjuang mengusahakan perkebunan karet dengan modal seadanya (modal sendiri dari simpanan anggota dan kadang-kadang dari relasi yang menampung hasil produksi karet). Walaupun sering berupaya mengusahakan permodalan dari pihak bank, namun hingga kini tidak ada bank yang bersedia membantu. Begitu pula dalam perjuangan mendapatkan HGU (Hak Guna Usaha) dari pemerintah untuk lahan yang diusahakan oleh koperasi, sedangkan untuk lahan bekas perkebunan yang telah digarap rakyat telah menjadi pemukiman, sawah, kolam, dan lading. Pengurus koperasi pun mengusahakan agar semua lahan yang sudah digarap tersebut menjadi hak milik para penggarap itu sendiri. Buah dari perjuangan yang berat dan panjang serta berkesinambungan tidak mengenal lelah didapatlah hasil: (1) pada tanggal 20 Juli 1989, mendapat HGU dengan nomor 37/HGU/BPN/89 yang akan berakhir 31 Desember 2014 dan (2) bulan Maret 2002 sampai dengan maret 2003 atas dukungan Camat Karangnunggal (Heri B Ruslan SH) dilaksanakan pensertifikatan tanah bekas perkebunan Wangunwatie yang tidak termasuk HGU oleh Kantor BPN Tasikmalaya untuk menjadi tanah mililk rakyat yang telah menggarap sejak tahun 1942.
Itulah sekelumit perjalanan Koperasi Wangunwatie yang hingga kini sudah berusia 58 tahun.  Sementara itu, kepengurusan sekarang adalah kepengurusan yang sudah berusia 25 tahun. Kepengurusan sekarang adalah hasil pemilihan lima kali rapat anggota. Suatu usia yang cukup matang. Lamanya kepengurusan koperasi yang sekarang tidak memperlihatkan suatu dominasi akan tetapi sesuai dengan watak koperasi, justru penguasa sebenarnya adalah anggota dan sekarang yang duduk sebagai pengelola koperasi adalah orang-orang yang diserahi tanggung jawab menjalankan roda perusahaan.

2.      Mengapa Koperasi?
Menurut Pasal 33 UUD 1945, ditetapkan bahwa bangun usaha yang sesuai dengan tata ekonomi Indonesia adalah bangun usaha yang berlandaskan jiwa, semangat kebersamaan, dan kekeluargaan. Dengan demikian, jelas, bahwa seluruh bentuk bangun usaha yang seharusnya ada di Indonesia harus diorientasikan kepada jiwa serta semangat tersebut. Akan tetapi, dalam kenyataannya, perkembangan bangun usaha di Indonesia menjadi sedikit melenceng. Keadaan melenceng ini adalah suatu fakta yang memang harus dihadapi bangsa ini. Kita tidak bisa membendung semangat kapitalisme yang melanda dunia. Dalam kaitan itu, hingga saat ini, paling tidak kita mengenal tiga bentuk bangun usaha yang sekarang ada di Indonesia. Kita mengenal BUMN/BUMD. Sejatinya, bangun usaha ini menyisir wilayah-wilayah usaha yang menguasai hajat hidup orang banyak tetapi tidak diminati masyarakat swasta karena tidak menguntungkan atau dapat mengancam harmonisasi masyarakat. Kita juga mengenal bangun usaha koperasi yang sejak awal didengungkan, ia sudah dibentuk sedemikian rupa agar memberikan keuntungan kepada masyarakat banyak. Pada titik ini, dalam dua bentuk bangun usaha ini kita bisa menjumpai semangat-semangat Pasal 33 UUD 1945. Selanjutnya, kita juga mengenal bangun usaha yang dikelola swasta baik perorangan maupun badan korporasi yang sudah tentu bangun usaha ini menyisir wilayah-wilayah yang dapat menguntungkan bagi para pengusaha[14].
Untuk selanjutnya, tulisan ini, tidak hendak mengelaborasi bangunan usaha BUMN/BUMD serta bangunan usaha swasta. Tulisan ini hanya hendak mengeksplorasi bangunan usaha yang berbentuk koperasi.
Sebagaimana dikatakan Bung Hatta, sistem ekonomi koperasi merupakan sistem yang cocok bagi pelaku-pelaku ekonomi masyarakat Indonesia yang sebagian besar terdiri dari massa petani dengan tradisi kerja yang bersifat kolektivisme[15]. Mengapa koperasi?karena, pembangunan ekonomi bukanlah sekedar bertujuan untuk memakmurkan rakyat tetapi merupakan pembangunan harkat rakyat secara keseluruhan. Konsep yang harus dibangun tidak hanya konsep liberty, equity, dan fraternity-nya tetapi konsep kemanusiaan keadilan sosial sehingga sistem yang dibangun tidak hanya demokrasi politik akan tetapi juga demokrasi ekonomi. Oleh karena itu, koperasi sebagai salah satu bangunan usaha ekonomi masyarakat diharapkan mampu menjadi wadah ekonomi utama. Dengan begitu, seluruh konsep di atas dapat diimplementasikan.
Satu contoh koperasi yang layak diangkat berkaitan dengan konsep-konsep di atas adalah Koperasi Perjuangan Wangunwatie. Koperasi yang dibangun dari puing-puing Perkebunan Wangunwatie yang dikelola/diusahakan oleh para mantan buruh perkebunan yang masih ada di lokasi perkebunan telah berdiri sejak tanggal 2 Mei 1952 berdasarkan hasil  musyawarah para anggota Dewan Pengurus Kebun Wangunwatie (DPKW). Koperasi ini telah berkembang sedemikian rupa hingga menjadi koperasi mandiri seperti sekarang. Inilah model koperasi yang dibangun di atas inisiasi warga masyarakat lokal.
Pembangunan koperasi yang mandiri dapat terwujud sesuai jatidiri/prinsip koperasi jika memenuhi tujuh kriteria sebagaimana diatur dalam Kepmen KOP dan UKM No 129/KEP/M.KUKM/XI/2002 tentang Pedoman Klasifikasi Koperasi yakni, keanggotaan sukarela dan terbuka, pengendalian oleh anggota secara demokratis, partisipasi ekonomi anggota, otonomi dan kemandirian, pendidikan dan pelatihan, kerjasama dengan koperasi yang lain, serta kepedulian terhadap komunitas.  Kriteria ini berbasis anggota bukan berbasis kapital (modal). Artinya, semua kegiatan koperasi dan hasilnya ditujukan kepada anggota dan selalu melibatkan anggota. Jadi, anggota merupakan center of orientation. Basis ini membuat koperasi dapat membangun dan meningkatkan kemandirian dengan meningkatkan peranan anggota dalam berpartisipasi mengikuti perkembangan kebutuhan anggota untuk menumbuhkan kepedulian anggota dalam berpartisipasi, serta bekerjasama dengan badan usaha non koperasi tanpa menimbulkan ketergantungan, menggunakan fasilitas keuangan yang disediakan pemerintah/perbankan sesuai dengan kemampuan manajemen dan sumber daya yang dimiliki. 
Keanggotaan Koperasi Wangunwatie terjadi secara sukarela. Inisiatif pendirian ini lahir dari sekumpulan warga (bekas pekerja perkebunan yang ditinggalkan majikannya) pada tahun 1948. Kesukarelaan serta keterbukaan anggota ini dimulai ketika para pekerja kebun, setelah selesai berbagi sebagian wilayah kebun untuk digarap, mereka berinisiatif mengelola sisa wilayah kebun yang tidak mungkin dikelola secara perorangan untuk dikelola secara bersama-sama dengan membentuk suatu wadah.
Wadah yang ingin mereka bentuk adalah wadah yang memungkinkan tidak saja setiap orang yang tergabung dalam DPKW tetapi juga setiap orang yang berada di sekeliling kebun. Mereka mengistilahkannya sebagai kemaslahatan bagi masyarakat sebanyak-banyaknya. Jelas ini merupakan prinsip dasar koperasi yang sudah demikian menyelimuti inisiatif pembentukan wadah. Kemudian, setelah pengetahuan semakin bertambah, ide pembentukan koperasi perkebunan dibentuk. Dengan dipimpin elit desa pada waktu itu, proses-proses demokrasi dalam pembentukan maupun pengelolaan koperasi dilakukan. Mereka menunjuk salah seorang dari mereka yang dianggap mumpuni untuk dijadikan pimpinan pengelolaan wadah tersebut
Permodalan yang menjadi persyaratan berikutnya dapat dengan sangat mudah dimiliki. Meskipun saat-saat pertama, permodalan yang diperoleh adalah tanah serta tenaga saja, hal itu sudah merupakan permodalan yang dianggap cukup untuk menjalankan roda koperasi. Pengendalian oleh anggota secara demokratis, partisipasi ekonomi anggota, otonomi dan kemandirian ditunjukkan dengan sangat jelas dalam proses ini. Dengan arahan dari pihak koperasi, setiap orang, menyertakan tanah milik mereka untuk kemudian menanaminya dengan pohon karet dan menyerahkan pengolahan hasil serta penjualan kepada pihak koperasi dengan model bagi hasil 70% bagi pemilik tanah dan 30% bagi koperasi.
Selanjutnya, konsep yang tidak kalah penting dalam melihat kemandirian suatu koperasi adalah kepedulian terhadap komunitas. Sejak awal, ketika mereka tidak membagi habis seluruh wilayah perkebunan untuk mereka sendiri, pengaturan semacam demikian adalah bentuk kepedulian terhadap komunitas sekitar mereka. Mereka sudah berkomitmen bahwa suatu saat, daerah sekitar koperasi akan berkembang dengan segala dinamikanya. Mereka (Bekas pekerja kebun) tidak ingin menjadi suatu kelompok yang eksklusif di wilayah Desa Sukawangun. Mereka berkeinginan bahwa bangunan usaha koperasi yang sudah mereka dirikan tersebut akan memiliki manfaat lebih besar lagi bukan saja bagi mereka akan tetapi bagi warga sekitar. Mereka sudah memikirkan, pada masa yang akan datang, jumlah individu yang harus menerima manfaat akan terus bertambah dan tidak mungkin dipenuhi dengan cara membagi-bagikan tanah kembali. Pembentukan koperasi ini, dengan basis mengelola perkebunan adalah suatu hal yang paling mungkin dilakukan serta memiliki efek yang besar dan dalam jangka panjang bagi warga sekitar.
 Peristiwa ini, dalam anggapan penulis, adalah peristiwa yang berbasiskan agraria. Basis pemikiran yang merupakan pada basis pemikiran sesungguh dalam menjalankan suatu tata produksi. Kemandirian Koperasi Wangunwatie saat ini dapat dilihat sebagai kemandirian yang lahir akibat basis konsepsi agraria yang sangat kental. Secara fisik, mereka membentuk wadah koperasi dengan bermodalkan tanah yang mereka miliki. Selanjutnya, visi keagrariaan yang mengharuskan (1) pertanahan harus berkontribusi secara nyata untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan melahirkan sumber-sumber baru kemakmuran rakyat, (2) pertanahan harus berkontribusi secara nyata untuk meningkatkan tatanan kehidupan bersama yang lebih berkeadilan dalam kaitannya dengan pemanfaatan, penggunaan, penguasaan, dan pemilikan tanah, (3) pertanahan harus berkontribusi secara nyata dalam menjamin keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan Indonesia, dan (4) pertanahan harus berkontribusi secara nyata dalam menciptakan tatanan kehidupan bersama secara harmonis dengan mengatasi berbagai sengketa dan konflik dapat diimplementasikan dengan sangat baik.
Koperasi Wangunwatie saat ini telah memberi kontribusi yang sangat banyak terhadap kesejahteraan masyarakat. Tata kelola pertanahan yang mereka junjung begitu berbeda dengan tata kelola pertanahan yang dilakukan para pengelola HGU pada umumnya. Pola bagi hasil 70% bagi pemilik tanah serta 30% bagi koperasi, desa, serta bentuk kontribusi-kontribusi langsung lainnya adalah inisiatif meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang tidak mudah dilakukan oleh perusahaan-perusahaan pemegang HGU. Sumber-sumber baru peningkatan kesejahteraan juga diinisiasi oleh koperasi. Salah satu bentuknya adalah arisan ternak.
Kontribusi tata kelola serta tata produksi yang berjalan di Desa Sukawangun ini telah menjamin keberlanjutan sistem kemasyarakatan selama kurang lebih 30 tahun. Visi agraria yang terbangun juga memungkinkan terjadinya pengelolaan lingkungan secara baik. Cara bertanam, jenis-jenis tanaman tertentu yang dipelihara pada daerah-daerah tertentu; pengelolaan sumber daya air yang dilakukan memungkikan terselenggaranya keberlanjutan-keberlanjutan tersebut.
Kemudian, kontribusi secara nyata dalam menciptakan tatanan kehidupan bersama secara harmonis dengan mengatasi berbagai sengketa dan konflik juga dapat diimplementasikan dengan sangat baik. Penyerobotan-penyerobotan tanah pada wilayah HGU Koperasi Wangunwatie tidak terjadi bahkan yang terjadi, penduduk sekitar kebun yang tidak termasuk anggota koperasi memberikan pengamanan terhadap tanaman-tanaman perkebunan karena tanah yang diusahakan koperasi pada dasarnya adalah tanah warga desa. Gangguan keamanan di sekitar kebun, dapat dikatakan tidak pernah terjadi. Menurut berbagai pengakuan, selama kurun waktu lebih dari 25 tahun ini, hanya satu kali terjadi pencurian di wilayah kebun. Pola pencegahan konflik juga menjadi titik perhatian pengelola kebun. Kampanye pentingnya batas serta sertifikat tanah tidak lepas dari peran besar para pengelola kebun.
Visi keagrarian demikian tidak lepas dari proses panjang Koperasi Wangunwatie. Persentuhan dengan para penggiat agraria menjadikan visi keagrariaan telah terbangun sejak lama. Selain itu, dinamika masyarakat yang berkembang ke arah komersialisasi masif disekitar wilayah koperasi dapat ditangkis oleh visi pimpinan atau para pengelola koperasi. Unsur-unsur pimpinan memiliki satu suara untuk tetap menjalankan roda koperasi pada wataknya. Pengembangan yang dilakukan tidak hanya dilihat sebagai suatu keharusan akan tetapi kemaslahatan bagi sebanyak-banyaknya warga desa tetap menjadi prioritas utama. Hal ini ditunjukkan ketika para pengelola menghentikan proyek penggalian nikel dengan pertimbangan bahwa proyek tersebut akan membawa usaha koperasi ke arah non pertanian dan akan menimbulkan kerusakan lingkungan.

C.     DIMENSI KEPEMIMPINAN DALAM PENGELOLAAN KOPERASI
Sebuah konsensus nasional untuk setia mengupayakan cita-cita kebangsaan dibidang agraria niscaya memerlukan kepemimpinan yang kuat dan visioner.[16] Dalam perjalanannya, cita-cita kebangsaan dibidang agraria pasti akan selalu mendapat rongrongan. Banyaknya kepentingan yang bergulir dibidang agraria sangat memungkinkan untuk melahirkan perubahan dan berbagai pembelokan cita-cita awal. Bahkan, tidak saja dari luar, akan tetapi dari dalam diri pimpinan. Pimpinan yang terbawa arus kepentingan pribadi yang sifatnya sesaat dapat pula membentuk pembelokan cita-cita.
Apakah dalam lingkup lokal, kepemimpinan seperti demikian diperlukan? Jika diperlukan, kepemimpinan seperti apa yang dibutuhkan tersebut? Apakah ada sisi negatif dari suatu bentuk kepemimpinan yang dijalani? Berikut beberapa dimensi yang terlihat setelah melakukan penelitian di Koperasi Wangunwatie Kecamatan Karangnunggal Kabupaten Tasikmalaya.

1.      Visi Agraria
Endang AS adalah pimpinan Koperasi Wangunwatie. Ia terpilih sejak lima periode kepengurusan koperasi. Jadi, bila dihitung waktu, ia sudah memimpin koperasi sejak tahun 1975 hingga tahun 2010 (25 tahun). Setiap periode kepengurusan, ia selalu mendapat suara aklamasi dari rapat anggota tahunan.  Tiga tahun belakangan ini ia selalu mendapat penghargaan sebagai penggerak koperasi oleh instansi setempat. Kemajuan yang sudah diberikan selam masa kepengurusan Pak Endang ini adalah perluasan pasar hingga luar negeri. Satu waktu ia pernah belajar pemasaran ke Singapura berkat kemajuan produksi karet yang dikelola koperasi ini.
Saat pertama kali berkenalan, kemudian menyatakan maksud kedatangan penulis dan berbicara tentang pertanahan, kata yang paling sering disebut oleh beliau adalah pasal 33 ayat 3. Beliau sering mengatakan bahwa tanah harus digunakan untuk kemaslahatan seluruh orang karena pasal 33 itu. Pasal 33 itu harus dilaksanakan sebaik-baiknya karena dengan begitu, kesejahteraan masyarakat dapat terjamin.
Inilah yang menurut penglihatan penulis merupakan visi agraria. Visi yang dimulai dari penghayatan pasal 33 yang kemudian mempraktekannya dalam kehidupan nyata. Ia begitu menghayati pasal 33 tersebut sehingga ia begitu setuju ketika dulu orang tuanya mendirikan koperasi ini. Padahal saat itu, ia tidak pernah tahu atau mencari tahu arti pentingnya koperasi. Akan tetapi lama kelamaan, karena ia dibesarkan dilingkungan koperasi, didikan secara tidak langsung atau didikan serta praktek koperasi membawa kepada pengetahuan pengejawantahan pasal 33. Ia berhasrat, orang-orang atau masyarakat disekitar koperasi dapat sejahtera dan kalau bisa kesejahteraan tersebut lebih luas lagi.
Visi agraria lain yang ditampilkan oleh Pa Endang adalah memperlakukan tanah dan tanaman sebagaimana layaknya manusia. Ia seakan-akan mengajak berbicara kepada tanaman yang akan disadap. Menurut beliau, sebenarnya, tanaman itu (karet) nangis kala kita menyadapnya. Oleh karenanya, ia selalu wanti-wanti kepada setiap penyadap untuk menghormati tanaman. Perkataan, ‘ujang’, ‘kasep’, ‘bageur’ adalah kata pujian atau kata kasih saying dalam bahasa Sunda yang lazim digunakan untuk memuji atau memanggil secara sayang pada anak. Kata-kata tersebut kerap kali ia gunakan ketika berbicara dengan tanaman karet.
Ia mengontrol sendiri jarak tanam yang tengah dilakukan para pekerja. Hal ini ia maksudkan agar tanaman tersebut bisa benar-benar optimal menghasilkan getah sebab sekali salah dalam penanam, pohon tersebut dia anggap cacat seumur hidup. Kecacatan ini juga tidak serta merta memberi kewenangan untuk membongkar tanaman sebab menurut anggapan beliau, tanaman tersebut masih tetap menghasilkan meskipun tidak optimal. Ia menganggap kegagalan penanaman tersebut sebagai biaya produksi yang harus pula ditanggung perusahaan.
Pak Endang juga memperhatikan aspek lingkungan. Kebijakan koperasi untuk tidak menanami seluruh wilayah perkebunan dengan karet adalah salah satu contohnya. Ia membuat kebijakan untuk tidak menanam tanaman karet pada daerah yang berkontur miring. Ia tidak membabat seluruh tanaman liar ketika pada wilayah bertanaman liar tersebut terdapat sumber air. Ia tidak menanami tanah dengan tanaman karet jika memang wilayah tersebut tidak cocok ditanami karet. Pada sebagian kecil wilayah perkebunan, koperasi juga menanam padi dan juga mengusahakan kolam ikan.
Salah satu kebijakan yang juga pernah dibuat yang bervisi agraria adalah ketika ada tawaran untuk menambang nikel pada sebagian wilayah perkebunan. Saat itu, Pak Endang sempat tergiur untuk memperoleh keuntungan bagi koperasi dengan menambang pada wilayah tersebut. Akan tetapi, setelah beberapa waktu, kebijakan tersebut ia rubah. Ia membatalkan proyek penambangan tersebut. Pertimbangan pembatalan proyek penambangan tersebut adalah pertimbangan kedepan. Pada satu sisi ia (koperasi) memperoleh keuntungan dari hasil penambangan, tetapi disisi lain, tanah bekas penambangan tersebut menjadi rusak dan koperasi belum mampu untuk membenahi tanah bekas penambangan untuk bisa berproduksi kembali. Jadi, dalam hal ini, ia sebagai pimpinan koperasi yang memiliki wewenang penuh untuk membesarkan koperasi, tidak serta merta mendorong beliau untuk tetap selalu mencari keuntungan. Meskipun pernah tergiur, ia memiliki kemampuan untuk kembali pada tujuan awal, yakni koperasi perkebunan karet dan bukan koperasi pertambangan nikel.
Menganggap tanah dan tanaman sebagai mahluk hidup layaknya manusia adalah tipikal yang menonjol dari diri pimpinan Koperasi Wangunwatie. Tipikal lain adalah menganggap manusia sebagai manusia. Manusia disini adalah para pekerja perkebunan, staf pengurus koperasi dan masyarakat sekitar wilayah perkebunan. Prosedur tetap keanggotaan tetap koperasi yang menysaratkan keanggotaan koperasi bagi warga yang adalah setelah dua tahun menjadi pekerja kebun adalah hal yang dianut sejak koperasi ini dipimpin Pak Endang. Perbedaan kecil antara anggota tetap dan bukan tetap adalah kesempatan untuk mengikuti rapat anggota tahunan. Jangka waktu dua tahun adalah ukuran pohon karet sudah mulai menghasilkan dan sanggup membiayai pekerjanya.
Kesempatan menjadi anggota tetap koperasi inipun tetap diberikan kepada warga yang tidak memiliki tanah. Kesempatan ini diberikan karena faktanya, koperasi yang berjalan mulus selama puluhan tahun ini cukup memberikan daya tarik bagi warga luar desa atau warga asli desa untuk datang dan berharap dapat berkeja di koperasi. Kebijakan untuk warga demikian juga diakomodasi dengan memberikan sebagian taanh untuk dikuasasi sebagai tempat tinggal dengan suatu perjanjian. Model seperti ini meski belum banyak dilakukan tetapi ini merupakan cikal bakal pemberdayaan tanah bagi sebanyak-banyak orang.
Kepemimpinan harus mempunyai sandaran-sandaran kemasyarakatan atau social basis.[17]  Basis sosial masyarakat pedesaan lebih condong kearah pertanian yang tidak melulu mencari keuntungan sduah dapat di akomodasi selama masa kepemimpinan Pak Endang. Visi agraria yang dimilikinya membantu mengembangkan koperasi hingga sekarang. Visi itu juga membantu Pak Endang secara pribadi untuk terus memimpin dan tetap dipercaya oleh anggota koperasi.  

2.      Pemimpin Yang Kuat
Dalam psikologi sosial, kepemimpinan sering diteliti dalam analisis kelompok kecil. Dalam sosiologi, kepemimpinan dianggap sebagai pelaksanaan pengaruh atau kekuasaan (power) dalam kumpulan sosial.[18] Maksud pemimpin yang kuat sebagaimana sub judul di atas dalam kaitannya dengan pengelolaan Kopeasi Wangunwatie kurang lebih seperti itu. ’Pimpinan yang pemimpin’ adalah istilah yang cocok juga buat Pimpinan Koperasi Wangunwatie ini. Pak Endang adalah pemimpin koperasi karena ia diangkat oleh rapat anggota tahunan koperasi. Pada saat awal kepengurusannya (kurang lebih 30 tahun yang lalu), Ia dipilih secara aklamasi oleh sebagian besar anggota koperasi. Sebagaimana prosedur pengangkatan pimpinan koperasi, Pak Endang sebagai pimpinan koperasi sudah sangat sesuai. Proses ini memenuhi unsur legalitas.
Sosiologi Weberian mengidentifikasi tiga jenis kepemimpinan sesuai dengan berbagai bentuk otoritas (authority) dan legitimasi (legitimacy). Pertama, pemimpin kharismatik memimpin berdasarkan kekuasaan yang luar biasa yang disematkan oleh pengikut kepada mereka.[19] Pimpinan koperasi, sesuai tatacaranya dipilih oleh rapat anggota tahunan. Proses ini adalah proses penyematan kekuasaan kepada seseorang dari beberapa orang (rapat anggota). Dalam tahap ini, karena pemilihan ketua koperasi terjadi melalui prosedur demikian, maka Pak Endang dapat dikategorikan pemimpin berjenis kharismatik dan dengan begitu, pada taraf minimal, seluruh ketua koperasi adalah pemimpin kharismatik.
Kemudian, apabila arti kharismatik adalah karunia yang diberikan Tuhan kepada seseorang untuk mampu mempengaruhi orang lain, Pak Endang, dalam pandangan penulis adalah pemimpin kahrismatik. Banyak omong (bukan dalam konotasi negatif), kadang-kadang tidak memberi kesempatan orang lain untuk berbicara adalah tipikal Pak Endang yang lain. Dari pembicaraan yang sempat terjadi menunjukkan ia seorang yang memiliki pengetahuan luas dibandingkan dengan jajaran pengurus koperasi yang lain atau yang dituakan di Koperasi Wangunwatie. Meskipun dari segi jenjang pendidikan tidak jelas. Beliau sendiri mengatakan: ’pendidikan saya mah tidak jelas’, ’dikatakan sekolah tinggi juga tidak tapi saya juga bisa jadi dosen’. Saya seringkali memberi ceramah kepada para pejabat-pejabat pemerintah daerah setempat, bahkan pejabat-pejabat nasional, begitulah kata Pak Endang pada kesempatan lain. Prestasi Koperasi Wangunwatie sebagai koperasi yang dijadikan percontohan hingga tingkat nasional menuntut Pak Endang untuk selalu mengasah pengetahuannya. Berbicara dihadapan para pejabat daerah maupun nasional memerlukan pengetahuan tersendiri serta teknik tersendiri.
Hampir setiap orang yang berkaitan dengan koperasi, kata pertama yang terucap adalah, ’jika tidak ada Pak Endang, entah apa jadinya koperasi ini’. Kata itu seringkali muncul pada saat awal penulis melakukan wawancara atau interaksi dengan responden penelitian. Ini menunjukkan bahwa dimata para staf, pekerja kebun, serta masyarakat sekitar, Pak Endang memiliki nilai tersendiri. Jika ia sebagai pemimpin, ia memiliki nilai lebih sebagai pimpinan. Meskipun belum ada bandingannya karena hampir setiap responden tidak bisa menceritakan pola pemimpin terdahulu sebelum era Pak Endang, respon terhadap sikap Pak Endang selama ini menunjukkan respon yang baik. Respon yang baik ini ditunjukkan pula dengan sikap hormat bahkan terlalu hormat yang selalu ditunjukkan. Sikap inferior yang selalu ditunjukkan oleh seluruh karyawan koperasi atau para pekerja. Selama interaksi antara penulis dengan responden (para pengurus koperasi yang lain), dari cara bicara serta pembicaraan tidak ada yang selugas serta seluas pembicaraan penulis dengan Pak Endang.
Respon yang terlalu baik juga ditunjukkan oleh para aparat desa. Beliau selalu dipandang sebagai selalu mempunyai solusi. Berbagai persalahan yang lahir berkaitan dengan pengelolaan desa, aparat desa seolah-olah memiliki sandaran penyelesaian. Ini merupakan hal yang buruk sebab ketergantungan aparat dalam penyelesaian sebuah persoalan begitu tinggi. Akan tetapi, menurut pandangan penulis, posisi ini tidak terlalu dianggap sebagai sesuatu yang menguntungkan bagi Pak Endang sebab segala hal persoalan selalu jalan penyelesaiannya adalah koperasi (Pak Endang).
Kedua, Pemimpin tradisional memimpin berdasarkan adat dan praktik karena keluarga atau kelas tertentu selalu memimpin.[20] Dalam kategori inipun, Pak Endang penulis anggap memenuhi persyaratan. Ia dilahirkan dari seorang ayah yang pekerja perkebunan yang kemudian memimpin rekan-rekannya untuk membentuk wadah bagi pekerja perkebunan. Di sini nampak bahwa kepemimpinan itu seolah-oleh diserahkan dari seorang ayah kepada anaknya. Pak Endang yang dibesarkan dalam lingkungan berbudaya koperasi. Ayahnya dulu memimpin rekan-rekannya mendirikan koperasi dan setelah beberapa tahun berjalan, ia diserahi tampuk kepemimpinan koperasi Wangunwatie. Meskipun melalui proses pemilihan rapat anggota tahunan, suara aklamasi rapat pada saat pemilihan pertama kali tahun 1975 menunjukkan bahwa kharisma Pak Endang sangat tinggi.
Ketiga, Kepemimpinan legal yang didasarkan pada keahlian dan diterapkan sesuai dengan peraturan formal umumnya ditemukan dalam administrasi publik dan perusahaan bisnis modern.[21] Prinsip pemilihan ketua koperasi yang berdasarkan rapat anggota tahunan ingin mengarahkan pimpinan koperasi agar berjenis pemimpin legal. Legalitas itu harus diperoleh bukan saja dari pemerintah. Legalitas itu harus pula diperoleh dari anggota koperasi. Sampai di sini, Pak Endang sebagai ketua koperasi adalah memenuhi unsur legalitas yang bukan saja dari pemerintah tetapi juga dari para anggota koperasi.
Jadi, kepemimpinan Pak Endang sebagai Ketua Koperasi Wangunwatie pada bebeberapa hal memenuhi unsur-unsur kepemimpinan yang pernah ditemui dimasyarakat pada umumnya. Pada kenyataannya, ketiga jenis kepemimpinan yang ada tersebut, baik secara maksimal maupun minimal dipenuhi oleh diri Pak Endang. Sampai di sini, karena kepemimpinan yang demikian, Koperasi Wangunwatie, paling tidak telah berjalan dengan baik hingga sekarang.

3.      Kaderisasi Yang Terlupakan
Sudah hampir 30 tahun Pak Endang memimpin Koperasi Wangunwatie. Dengan pola kepemimpinan yang ia kembangkan, menjadikan ia begitu dipercaya oleh anggotanya. Selama 5 kali rapat anggota, ia selalu mendapat suara aklamasi. Ini menandakan bahwa Pak Endang hingga saat ini masih memperoleh dukungan. Berarti pula, tenaga dan pikirannya masih diperlukan oleh para anggota. Apakah usia 30 tahun adalah usia kepemimpinan yang panjang, pendek, atau cukup panjang? Penulis belum mendapatkan jawabannya. Yang jelas, hingga saat ini Pak Endang masih mendapat kepercayaan dari para anggota.
Kemudian persoalan apa yang mencuat. Suara sumbang tentang kepemimpinan yang dilontarkan bawahan pernah penulis dengar. Beberapa orang menyatakan atau mempertanyakan siapa yang akan melanjutkan tampuk kepemimpinan setelah Pak Endang. Sebagian besar merasa tidak yakin dengan pemimpin-pemimpin sekarang yang berada di bawah Pak Endang. Mereka menyangsikan Pak Nana (yang sering disebut-sebut gantinya Pak Endang) untuk menjadi pengganti Pak Endang.
Suara demikian, penulis tangkap sebagai suara keresahan. Koperasi ini harus tetap berjalan dengan baik. Selama ini, koperasi memang berjalan dengan baik. Hal ini berlangsung karena kepemimpinan yang juga baik. Dalam suasana yang baik ini mengapa suara resah timbul? Menurut pandangan penulis, para anggota sekarang sudah merasa nyaman dengan kondisi koperasi yang berkembang baik dan hal ini ingin mereka pertahankan karena harus dipertahankan. Pertanyaannya kemudian adalah, siapa yang harus memimpin agar tetap status quo. Pertanyaan para anggota itu belum memperoleh jawaban hingga kini.
Apakah keadaan ini disadari oleh para pengurus koperasi berserta seluruh anggota. Untuk level dibawah Pak Endang, penulis pastikan, mereka menyadari hal tersebut. Akan tetapi, untuk Pak Endang sebagai titik sentral koperasi ini, penulis tidak bisa merabanya. Pak Endang yang sedemikian banyak berbicara, tidak sekalipun menyinggung tentang lamanya masa kepemimpinan beliau. Dia hanya berseloroh sudah tidak sekuat dulu ketika beliau mengajak penulis berkeliling perkebunan. ”yah cukup sebulan sekali lah jalan-jalannya, cape tiap hari mah”. Sebuah kesadaran yang mendalam tentang seorang manusia yang beranjak tua. Akan tetapi, kesadaran yang terlalu dalam ini tidak cukup untuk pengelolaan koperasi.
Sementara itu, untuk level di bawah Pak Endang bahkan yang lebih bawah lagi, pertanyaan kegamangan tentang masa depan koperasi sudah cukup membuktikan adanya keinginan untuk mempertahankan koperasi berjalan dengan baik. Akan tetapi menyuarakan pentingnya kaderisasi merupakan hal yang terlalu sensitif diwacanakan. Para pekerja kebun, yang juga anggota koperasi, hanya mampu berkeluh kesah menghawatirkan kepemimpinan koperasi jika Pak Endang sudah tidak ada. Ketika ditanyakan apakah tidak ada pelatihan-pelatihan atau proses kaderisasi, mereka menjawab tidak tahu.
Panjangnya waktu kekuasaan juga mengarah kepada kemutlakan kekuasaan. Bibit-bibit power tends to corrupt mulai bersemi. Hal ini bisa jadi tidak disadari pula oleh penguasa. Kepentingan penguasa untuk tetap berkuasa selalu diusahakan sedemikian rupa baik sacara sadar atau tidak sadar (dengan berpikir yang betul-betul logis). Pergunjingan kalangan bawah dan the outsider tentang pengakomodasian anggota keluarga menjadi pengurus koperasi dan memegang jabatan penting perlu juga menjadi perhatian. Ini bisa jadi merupakan sebuah tuduhan yang tidak berdasar. Akan tetapi, ini juga bukan hal yang tidak mungkin. Kekuasaan yang terlalu besar membawa kepada pembuatan kebijakan yang cenderung elitis. Rapat anggota sebagai pemegang kekuasaan tertinggi seringkali diabaikan. Perkataan yang menjadi tameng untuk hal ini adalah ’yang penting koperasi tidak dirugikan karena dengan begitu anggota juga tidak dirugikan’.
Kesadaran akan pentingnya kaderisasi bisa jadi sudah ada dalam pikiran para pengelola berseta anggota koperasi. Akan tetapi, budaya sopan santun yang dimiliki memagari pewacanaan kaderisasi. Meskipun dirasakan sebagai sesuatu yang sangat penting, kaderisasi seolah-olah hanya cukup dalam pergunjingan. Disinilah pentingnya peran aparat pemerintah sebagai fasilitator kesejahteraan masyarakat. Kemampuan aparat untuk mendeteksi serta memetakan berbagai kondisi serta permasalahan terkini yang terjadi dimasyarakat yang belum disadari oleh masyarakat sangatlah diperlukan.

D.    PENUTUP
1.      Kesimpulan
a.       Bentuk koperasi rakyat sebagai pemegang hak penguasaan tanah yang disodorkan dalam konsep Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia sebagai sarana delivery system di Desa Wangunwatie Kecamatan Karangnunggal Kabupaten Tasikmalaya terbukti membawa kesejahteraan pada masyarakat desa. Pola kekeluargaan yang dibawa oleh koperasi hasil inisiasi masyarakat setempat terbukti memiliki kontribusi bagi warga sekitar perkebunan.
b.      Koperasi wangunwatie sudah bertahan lebih dari 30 tahun dan memberikan kontribusi bagi kesejahteraan masyarakat sekitar selama itu pula. Ia bisa bertahan karena salah satunya mempunyai pemimpin yang sangat kuat. Berbagai hambatan dapat diselesaikan dengan adanya kepemimpinan seperti ini. Disamping kuat, pemimpin koperasi yang berbasis produksi pertanian juga harus memiliki visi agraria. Visi ini berguna agar pembelokan-pembelokan yang berasal dari dalam maupun luar pimpinan dapat diminimalisasi.
c.       Kaderisasi pimpinan yang tidak sempat dilakukan akan menimbulkan kegamangan pada pengikut. Kesadaran yang belum mewujud ini bisa sangat merugikan.
d.      Kepemimpinan yang terlalu kuat juga tidak selamanya menguntungkan bagi tatanan masyarakat yang hendak dibangun. Ia bisa menjadi terlalu berkuasa sehingga demokrasi dikesampingkan dan pada akhirnya membawa koperasi kearah kemunduran.

2.      Saran
a.       Bentuk koperasi sebagai wadah penguasaan hak atas tanah perlu terus dikembangkan terlebih lagi jika bentuk tersebut bermula dari inisiasi warga masyarakat.
b.      Pemimpin koperasi yang kuat serta memiliki visi agraria bukannya dilahirkan akan tetapi bisa juga dibentuk. Oleh karenanya, kaderisasi pimpinan juga perlu dilakukan sejak dini.
c.       Bila hal tersebut tidak disadari oleh masyarakat, peran aparat pemerintah sangat diperlukan. Tangan aparat sudah cukup mumpuni untuk membangunkan kesadaran positif menjadi sebuah tindakan nyata.



Daftar Pustaka


Abercrombie, Nicholas, Stephen Hill, Bryan S. Turner, (terj) Desi Noviyani, Eka Adinugraha, dan Rh. Widada, Kamus Sosiologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Badan Pertanahan Nasional Repubik Indonesia, Reforma Agraria: Mandat politik, konstitusi, dan hokum dalam rangka mewujudkan “Tanah untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat”, Jakarta: BPN-RI, 2007.
Moleong, Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remadja Rosda Karya, 2008.
Outhwaite, Willian (ed), Tri Wibowo BS (terj), Kamus Lengkap Pemikiran Sosial Modern, Jakarta: Kencana, 2008.
Shohibuddin, Mohammad dan Ahmad Nasih Luthfi, Landreform Ala Ngandagan: Inovasi Sistem Tenurial Adat di Sebuah Desa Jawa, Yogyakarta: STPN Press dan SAINS, 2010.


* Deden Dani Saleh, S.Sos., M.Si adalah staf pengajar dan staf peneliti pada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional.
[1] Dengan garis pantai sekitar 81 ribu, semestinya tidak ada sama sekali nelayan yang hidup miskin, mengingat nilai kekayaan laut terutama ikannya yang luar biasa. Pantai ataupun laut yang terbentang mengagumkan itu, tidak bisa menghidupi kaum nelayan dan pada sisi lain hasil laut Indonesia justru banyak dikonsumsi oleh berbagai negara lain, di samping sering dicuri para nelayan negara tetangga. Sementara bidang pertanahan, potensinya juga dikuasai oleh sedikit pihak yang tidak peduli memberi akses pada penciptaan kesejahteraan rakyat. “Rakyat hanya memiliki sedikit sekali tanah, terus kerap terusir dari tanahnya yang hanya sedikit itu, dan dibiarkan hidup menderita di tengah-tengah banyak tanah terlantar yang salah urus oleh pemerintah ataupun pengusaha pemegang konsesi pertanahan,” “Inilah ironisnya negeri kita yang kaya raya,” Prabowo Subiyanto, Ironi Indonesia Negara Yang Kaya, http://pesatnews.com/2010/09/29/nasional/prabowo-ironi-indonesia-negeri-yang-kaya-raya/, diakses tanggal 26 Maret 2011.
[2] Pertama, sudah diketahui umum bahwa kaum tani di negeri agraris ini berada dalam lapisan social yang tidak menguntungkan….Kedua, ketimpangan penguasaan semakin menajam….Ketiga, maraknya darama penggusuran tanah petani untuk berbagai keperluan di luar pertanian. Usep Setiawan, Kembali ke Agraria, Yogyakarta, STPN Press, 2010. Hal 51.
[3] BPN-RI, Reforma Agraria: Mandat Politik, Konstitusi, dan Hukum dalam Mewujudkan “Tanah untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat”, Jakarta: BPN-RI, 2007.
[4] ibid
[5] William Outhwaithe, Kamus Lengkap Pemikiran Sosial Modern, Jakarta: Kencana, 2008.
[6] ibid
[7] Akan tetapi ada situasi yang melahirkan jenis kepemimpinan yang tidak diharapkan, seperti kepribadian otoriter. Para peneliti lain menucrahkan upayanya untuk mengungkap hubungan antara kepemimpinan dengan konteks, dengan tujuan mengembangkan pemimpin yang paling efektif dan menciptakan gaya kepemimpinan yang demokratis. ibid
[8] ibid
[9] ibid
[10] Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remadja Rosda Karya, 2008. Hal iii.
[11] Moleong (2002), Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya ibid. Hal 31
[12] menurut Lofland dan Lofland (1984:47), sumber data yang utama dalam sebuah penelitian kualitatif adalah kata-kata, dan tindakan selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain, ibid. Hal 157.
[13] ibid
[14] Dilihat dari tingkat efisiensinya, masing-masing wadah pelaku ekonomi tersebut memiliki keunggulan komparatif sendiri-sendiri dalam mewujudkan perekonomian nasional yang berlandaskan Trilogi Pembangunan, www.docstoc.com/.../62-BAB-III-KOPERASI-SEBAGAI-SOKOGURU-EKONOMI-Pembangunan-Koperasi, diunduh tanggal 17 September 2010.
[15] Mohammad Hatta, “The Place of Coopertive In Indonesia Society, “ dalam bukunya The Cooperative Movement…. Hal 1-20 dalam www.docstoc.com/.../62-BAB-III-KOPERASI-SEBAGAI-SOKOGURU-EKONOMI-Pembangunan-Koperasi, diunduh tanggal 17 Septe,ber 2010.
[16] Endriatmo Soetarto dalam Mohammad Shohibuddin, Landreform Ala Ngandagan: Inovasi Sistem Tenurial Adat di Sebuah Desa Jawa, Yogyakarta: STPN Press dan SAINS, 2010. Hal xii.
[17] Soerjono, Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Press, 1990. Hal 324.
[18] Nicholas Abercrombie, Kamus Sosiologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010. Hal 307.
[19] Ibid.
[20] Ibid.
[21] Nicholas Abercrombie, Kamus Sosiologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010. Hal 307.